PENGKAJIAN TEATER INTERDISIPLINER
MAKALAH
Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Kajian Drama
Dosen Pengampu Drs. Larlen, M.Pd
Oleh
Kelompok
II
Teja Pratama A1B112003
Herti Gustina A1B112005
Imadona A1B112007
Fitri Lestari A1B112025
Mesha Nita Sari A1B112053
Semester IV, Kelas A

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI

KATA PENGANTAR
Puji
syukur ke hadirat Allah SWT. atas rahmat dan hiyadah yang telah Ia berikan
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada wak-tunya.
Kemudian
ucapan terima kasih penulis haturkan kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, baik berupa sarana dan prasarana maupun berupa
ide-ide atau gagasan-gagasan sehingga makalah ini dapat tersele-saikan dengan
baik.
Makalah
ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Kajian Drama sebagai bahan
latihan dalam membuat sebuah makalah ilmiah. Dalam makalah ini penulis mengangkat
topik bahasan mengenai Pengkajian Teater Inter-disipliner. Melihat pentingnya
gaya bahasa dalam karya sastra sebagai unsur pem-bangun dari sebuah karya
sastra.
Demikianlah
yang dapat penulis sampaikan, apabila ada kesalahan dan ke-kurangan penulis mohon
maaf. Kritik maupun saran dibuka demi perbaikan maka-lah ini untuk selanjutnya.
Atas
perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Jambi, Oktober 2014
Penulis
![]() |
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR..........................................................................................
i
BAB
I PENDAHULUAN...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................
1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................
1
BAB
II PEMBAHASAN.....................................................................................
3
2.1 Hakikat Teater................................................................................................
2.2 Pengkajian Teater Interdisipliner....................................................................
BAB
III PENUTUP............................................................................................. 19
Simpulan................................................................................................................ 19
DAFTAR RUJUKAN.......................................................................................... 20
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pengkajian
teater interdisipliner mengkaji berbagai macam disiplin ilmu yang menerapkan
berbagai macam ilmu ke dalam teater. Dalam berperan teater perlu ilmu-ilmu lain
yang menopang berjalannya teater. Ilmu-ilmu yang ada di antaranya yaitu ilmu
psikologi, semiotika, sosiologi, pragmatik dan resepsi drama.
Ilmu psikologi membahas masalah kejiwaan pengarang dan masuk ke
dalam peran sutradara, sedangkan ilmu semiotik adalah ilmu tanda-tanda
mengungkapkan bahasa yang digunakan dalam teater. Sosiologi adalah ilmu yang
termasuk sosial masyarakat bagaimana teater itu di dalam masyarakat. Dan ada
juga pragmatik yang membahas bagaimana seorang penonton memaknai sebuah karya
drama atau teater saat teater itu di tampilkan. Yang terakhir adalah reserpsi
adalah respon atau tanggapan penonton atas apa yang ada di dalam penampilan
teater.
1.2
Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi
penyimpangan ataupun kerancuan terhadap makalah ini, maka penulis memberi
batasan terhadap pembahasan dengan ruang lingkup berkisar judul yang tertera.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini meliputi:
a.
Bagaimanakah
pendekatan psikologi teater?
b.
Bagaimanakah
pendekatan semiotika teater?
c.
Bagaimanakah
pendekatan sosiologi teater?
d.
Bagaimanakah
pendekatan pragmatik teater?
e.
Bagaimanakah
pendekatan resepsi drama?
1.3
Manfaat dan Tujuan penulisan
Dengan adanya makalah
ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam mengkaji sebuah karya sastra
(teater).
Adapun tujuan penulisan
makalah ini yaitu agar baik pembaca maupun penulis dapat:
a.
Mengetahui
bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan psikologi.
b.
Mengetahui
bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan semiotika.
c.
Mengetahui
bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan sosiologi.
d.
Mengetahui
bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan pragmatik.
e.
Mengetahui
bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan resepsi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pendekatan Psikologi Teater
Psikologi berasal dari bahasa Latin, yaitu psyche berarti jiwa dan logos
artinya ilmu. Dengan demikian psikologi dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi ilmu jiwa. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa
pengertian ‘psikologi’ adalah ilmu yang berkaitan dengan proses-proses mental
baik normal maupun abnormal yang pengaruhnya pada perilaku atau ilmu
pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (1995:792).
Aminuddin (1990:49) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tentang tingkah laku
dan perbuatan individu semua berbentuk dorongan (impulsum:
dorongan, tolakan, rangsangan, rasa)
dalam diri manusia yang
menyebabkan timbulnya macam-macam aktifitas fisik dan psikis dijelaskan oleh psikologis.
Pendapat Aminuddin di atas menunjukkan bahwa mempelajari jiwa manusia harus
dilihat dari tingkah laku dan perbuatan individu yang berdasarkan tingkah
lakunya sehari-hari. Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang bertolak
dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas peristiwa perilaku yang
beragam. Bila kita ingin melihat dan mengenal tokoh Rosa dalam drama Pertja
karya Benjo lebih dalam diperlukan psikologi. Penjelasan ke dalam batin atau
kejiwaan untuk mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk manusia yang unik
merupakan sesuatu yang merangsang dan sangat menarik. Banyak penulis dan
peneliti sastra yang mendalami masalah psikologi untuk dapat memahami karya
sastra dengan bantuan psikologi.
Teori-teori mengenai psikologi sastra terus berkembang seiring dengan
berjalanya waktu. Reokhan dalam Aminuddin (1990:89) mengatakan bahwa, psikologi sastra sebagai salah satu disiplin ilmu ditopang
oleh tiga pendekatan studi, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek
psikologis penulis dalam proses kreatif yang terproyeksi lewat karya ciptaannya, (2) pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek
psikologis sang tokoh dalam karya sastra dan (3) pendekatan reseptif pragmatis
yang mengkaji aspek psikologis pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog
dengan karya sastra yang dinikmatiknya serta proses rekreatif yang ditempuh
dalam menghayati teks sastra tersebut.
Secara definitif,
tujuan psikologis sastra adalah memahami
aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Dalam bukunya
Wellek dan Warren (1962:90) menyebutkan bahwa psikologis sastra mempunyai empat
kemungkinan pengertian: (1) Studi psikologis pengarang sebagai tipe atau
sebagai pribadi, (2) Studi proses kreatif, (3) Studi
tipe dan hukum-hukum psikologis yang diterapkan pada karya sastra, (4) Mempelajari
dampak sastra pada pembaca (psikologis pembaca).
Karya sastra merupakan
produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam
situasi setengah atau subcooncius. Setelah mendapat bentuk yang jelas
dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar dalam bentuk penciptaan karya
sastra. Jadi, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam dua tahap, tahap
pertama dalam bentuk meramu gagasan dalam situasi imajinatif dan abstrak
kemudian dipindahkan ke dalam tahap kedua yaitu penulisan karya yang sifatnya
mengkonkretkan apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak.
Freud dengan teori
psikoanalisisnya menggambarkan bahwa pengarang dalam menciptakan suatu karya
sastra diserang oleh penyakit jiwa yang dinamakan neurosis. Bukan hanya itu
saja, bahkan kadang-kadang sampai pada tahap psikosis seperti sakit saraf dan
mental yang membuatnya berada dalam kondisi sebagai tertekan (bukan berarti
gila), berkeluh kesah akibat ide dan gagasan yang menggelora serta menghendaki
agar disublimasikan atau disalurkan dalam bentuk penciptaan yaitu karya sastra.
Sastra sebagai gejala kejiwaan di dalamya terkandung fenomena kejiwaan yang
tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian, karya sastra (teks
sastra) dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologis. Hal ini tentu
dapat kita terima karena antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan
lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional. Tidak langsung artinya hubungan itu ada karena baik sastra maupun
psikologi kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama yaitu kejiwaan manusia
secara mendalam. Hasil penangkapan
itu setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk sebuah karya
sastra. Perbedaannya adalah pengarang mengemukakannya dalam bentuk formulasi penelitian psikologi.
Dengan demikian tidaklah mengada-ada kalau antara sastra
dan psikologi dapat dilakukan kajian lintas disiplin ilmu. Psikologi dan karya
sastra memiliki hubungan fungsional,
yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain.
Perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah
gejala-gejala kejiwaan dari manusia imajiner sedangkan dalam psikologis manusia
dalam dunia nyata. Sekalipun demikian keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia karena mungkin saja apa
yang terungkap oleh pengarang tidak mampu diamati oleh psikolog atau bahkan
sebaliknya.
Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan
psikologis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan
batin manusia karena hakekat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi
kekalutan batinnya
sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan diri mereka masing-masing.
Apa yang diperhatikan belum tentu sama dengan apa yang
sesungguhnya terjadi dalam dirinya karena manusia sering berusaha menutupinya.
Kejujuran, kecintaan, kemunafikan, dan lain-lain berada dalam batin
masing-masing yang terkadang terlihat gejalanya dari luar dan kadang-kadang tidak.
Oleh sebab itu, kajian tentang tokoh harus ditekannya
pada aspek kejiwaan dan tentu saja tidak lepas dari teori psikologi.
2.2 Pendekatan Semiotik Teater
Secara etimologi semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion,
yang berarti tanda. Tanda itu sendiri membentang di kehidupan kita, seperti
halnya pada gerak isyarat, lampu lalu lintas, sesaji dalam upacara pernikahan, dan
sebagainya. Istilah semiotika memang belum lama kita kenal, mungkin baru
dua dasawarsa terakhir atau mungkin kurang dari itu. Semiotika sendiri adalah
suatu pemahaman mengenai realistis, sedangkan fenomena semiotika (semiosis)
adalah realitas itu sendiri. Secara sederhana semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu
tentang tanda dan sistem tanda. Aart van Zoest menyebutkan semiotika adalah
studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda dan cara
fungsinya, seperti hubungan dengan tanda-tanda, pengiriman dan penerimaan.
Adapula yang mengatakan semiotika
adalah ilmu secara sistematik yang mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang dan
proses perlambangan. Keir Elam ahli teater mendefinisikan semiotika sebagai
ilmu yang dipersembahkan khusus ke studi produksi makna dalam masyarakat. Lebih
jauh Elam menambahkan bahwa obyek-obyek semiotika adalah kode-kode dan sistem-sistem
tanda yang beropeasi di masyarakat, pesan-pesan yang aktual dan teks-teks yang
diproduksi dengan cara demikian. Definisi-definisi tersebut menjadi
kompleks ketika muncul tuntutan untuk mendefinisikan apa yang disebut dengan
tanda, kesulitan membangun kesepakatan tentang mendefinisikan bisa mempersulit
definisi tentang tanda. Idealnya, semiotika adalah suatu ilmu yang
multidisipliner yang akurasi karakteristik-karakteristik metodologinya
bervariasi.
Tujuan mempelajari semiotika teater
adalah untuk melihat bagaimana makna ditetapkan melalui elemen-elemen yang
terlibat dalam teks drama dan bagaimana makna diciptakan di dalam suatu konteks
pertunjukan. Menurut Aston & Savona semiotika memiliki
implikasi-implikasi yang jelas untuk studi drama dan teater, dengan maksud
semiotika memungkinkan investigasi terhadap teks drama secara struktural,
semiotika di dalam teater juga dipakai untuk menganalisa bahasa, wacana
bahasa-bahasa, fisik di dalam setiap teks drama.
Sedangkan penyebutan drama dan
teater sudah memiliki arti yang berbeda. Istilah teater adalah fenomena dimana
adanya hubungan antara performer dan audiens, yakni berhubungan dengan produksi
dan komunikasi makna dalam pertunjukan itu sendiri. Sedangkan istilah drama
lebih pada karya fiksi yang didesain untuk representasi panggung dengan
konvensi-konvensi drama yang spesifik. Dengan kata lain lingkup kerja semiotikawan
teater ada 2 yaitu: teks drama (tertulis) dan teks pertunjukan (pertunjukan
teater), ruang lingkup ini berbeda dengan semiotikawan sastra yang hanya
mengacu pada teks tertulis saja.
2.3 Pendekatan
Sosiologi Teater
Pada dasarnya Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dalam mekanisme kerjanya dan bagaimana masyarakat
itu bertahan hidup. Yang menjadi objek permasalahan sosiologi sastra adalah
masyarakat. Berangkat dari pertanyaan berikut, seperti halnya sosiologi
sastrapun berurusan dengan manusia yang terdapat dalam masyarakat. Dalam hal
ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra memiliki berbagai masalah yang sama.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra
yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial. Wellek dan
Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
a. Sosiologi pengarang, profesi
pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar
ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi
pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra,
karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai
makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga
dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi
tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki
peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan
Warren,1990:112).
b. Sosiologi karya sastra yang
memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa
yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan
yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial
sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122) beranggapan
dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi
Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri
zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat,
buku sumber sejarah peradaban.
c. Sosiologi sastra yang memasalahkan
pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi
masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak
orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian
Watt (dalam Damono, 1989:3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
a. Konteks sosial pengarang, dalam hal
ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang
dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan
dengan:
1) bagaimana pengarang mendapat mata
pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung
atau pekerjaan yang lainnya,
2) profesionalisme dalam kepengarangannya,
dan
3) masyarakat apa yang dituju oleh
pengarang.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat,
maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat.
Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak
disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi
sastra sebagai cermin masyarakat adalah:
1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan
mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat
ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis,
2) sifat “lain dari yang lain” seorang
pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam
karyanya,
3) genre sastra sering merupakan sikap
sosial suatu kelompok tertentu dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat,
4) sastra yang berusaha untuk
menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat
dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak
dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan
sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan
demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra
sebagai cermin masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra, maksudnya
seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan
ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum
Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
Karena itu, sastra harus berfungs sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra
sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara
menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term, Abrams menulis
bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh
kritikus atau peneliti yaitu:
1) Penulis dengan lingkungan budaya
tempat ia tinggal.
2) Karya, dengan kondisi sosial yang
direfleksikan di dalamnya.
3) Audien atau pembaca (1981: 178).
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra,
memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada
masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia
dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi
(2003:79). Sementara, Faruk (1994:1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra
sebagai studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi
mengenai lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa
sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan
hidup.
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya
sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient
being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik
masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra
berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini
muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat
tertentu dengan masyarakatnya dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan
antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto,
1993).
Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan
pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat
dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para
teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan
resiprokal itu. Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek
dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan
gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu
bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi,
difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali
menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi,
refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan
dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, maka dalam proses penciptaan
karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh
karena itu, karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil
pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman
hidup yang telah dihayatinya.
Menurut Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai
sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas
hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
1) Pemahaman terhadap karya sastra
dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya,
2) Pemahaman terhadap totalitas karya
yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya,
3) Pemahaman terhadap karya sastra
sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi,
4) Sosiologi sastra adalah hubungan dua
arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat, dan
5) Sosiologi sastra berusaha menemukan
kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari
manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang
dibicarakan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra
dapat meneliti melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra,
artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat
dan sebaliknya. Kedua, perspektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari
sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan
latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti
menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
2.4 Pendekatan
Pragmatik Teater
Pendekatan pragmatik merupakan salah
satu bagian dari ilmu sastra yang menitikberatkan dimensi pembaca sebagai
penangkap dan pemberi makna karya sastra (Teew, 1984:50). Pendekatan pragmatis menurut Abram
(1958:14-21) memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan
ini memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca.
Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka
masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik di antaranya
berbagai tanggapan masyarakat atau penerimaan pembaca tertentu terhadap sebuah
karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.
Menurut Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan
pendekatan pragmatik, mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika
resepsi. Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah
baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya
dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca.
Berdasarkan pikiran-pikiran di atas,
dapat diambil pengertian bahwa pragmatik adalah cara mengkaitkan sesuatu atau
karya sesuai dengan kegunaannya atau telaah hubungan karya sastra
dengan penafsir dengan disikapi secara kontekstual. Di dalam sastra ada tiga
kode yang saling signifikan, yaitu kode
bahasa, budaya, dan kode sastra sendiri. Ketiga kode ini tidak seluruhnya dapat
diamati secara empirik. Kode bahasa misalnya, secara realitas memang
dapat diamati oleh indera, tetapi untuk memahaminya diperlukan sejumlah lokus
makna lainnya yang terdapat pada kesadaran subjektif. Demikian juga dengan kode
budaya dan kode sastra tidak terlepas dari lokus pemaknaan lainnya.
Dalam literatur yang berkaitan
dengan pragmatik, adapula yang menekankan kepada struktur bahasa, aspek
makna tertentu, dan hakikat ketergantungan dengan konteks, seperti yang
dipaparkan sebagai berikut ini:
a.
Pragmatik adalah studi tentang
hubungan-hubungan antar bahasa dengan konteks yang digramatikalisasikan atau
dikodekan dalam struktur suatu bahasa;
b.
Pragmatik adalah studi tentang semua
aspek makna yang tidak terliput dalam teori semantik;
c.
Pragmatik adalah studi tentang
hubungan antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar untuk uraian pemahaman
bahasa;
d.
Pragmatik adalah studi tentang
kemampuan pemakaian bahasa untuk memadankan kalimat dengan konteks yang tepat;
dan
e.
Pragmatik adalah studi tentang
dieksis, implikasi, prasuposisi, tindak ujar, dan aspek struktur wacana.
Dari
beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksudkan dengan pendekatan
pragmatik dalam tulisan ini adalah cara mengkaitkan hubungan kode-kode bahasa
sebagai media ekspresif karya sastra dengan penafsir sebagaimana pengertian
pragmatik yang dirumuskan oleh Morris dalam Tarigan dan Van Dijk
terdahulu. Sedangkan penafsiran yang dimaksud adalah begaimana penafsiran atau
interpretasi pembaca terhadap makna kode tersebut. Dengan demikian dapat
dirumuskan bahwa pendekatan pragmatik adalah suatu pendekatan yang dipergunakan
dalam menelaah karya sastra (drama) berdasarkan resepsi personal pembaca
(interpretator) terhadap kode atau unsur-unsur yang terdapat dalam drama.
2.5 Pendekatan
Resepsi Teater
Pertunjukan drama merupakan sebuah
kerja kolektif. Sebagai kerja seni yang kolektif, pertunjukan
drama memiliki proses kreatifitas yang bertujuan agar dapat
memberikan sajian yang layak bagi penontonnya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Endraswara (2011:38) yang mengemukakan bahwa pementasan drama merupakan
karya kolektif yang dikoordinasikan oleh sutradara, yaitu pekerja teater
yang kecakapan dan keahliannya memimpin aktor-aktris dan pekerja teknis dalam
pementasan.
Pada dasarnya naskah drama menjadi
karya sastra jika dihadirkan hanya sebagai sebuah
naskah tertulis. Karya tersebut akan memiliki dimensi yang berbeda
jika divisualisasikan dalam bentuk seni pertunjukan. Penyimak pertunjukan
drama tersebut dapat menikmati dan menilai sebuah karya melalui bacaan
maupun menyaksikannya melalui seni pertunjukan. Dewojati (2010:5) mengemukakan
bahwa dalam dimensi seni pertunjukan, drama dapat memberi pengaruh
emosional yang lebih besar dan terarah pada penikmat atau audiensnya.
Sebagai sebuah pertunjukan, drama
akan melalui proses penggarapan. Proses ini
dipimpin langsung oleh sutradara. Dalam menyajikan sebuah pertunjukan
drama, peran sutradara sangat penting. Sutradara akan dibantu oleh pelaku
seni lainnya yang terlibat dalam proses tersebut. Kreatifitas sutradara untuk menciptakan
sebuah pertunjukan drama tentunya dibekali oleh pengalaman serta pengetahuannya
dalam hal menginterpretasi dan menyajikan pertunjukan. Santosa dkk
(2008:44) mengemukakan bahwa baik buruknya pementasan drama sangat ditentukan
oleh kerja sutradara.
Interpretasi sutradara terhadap naskah drama bisa saja berbeda dengan penulis
naskah. Interpretasi sutradara merupakan acuan utama pada proses penggarapan
pertunjukan tersebut. Di samping itu ada pemain lakon dan juga tim artistik
yang akan menginterpretasikan apa yang menjadi keinginan sutradara. Rangkaian
interpretasi ini akan berakhir pada interpretasi penonton sebagai penyimak
pertunjukan drama tersebut. Hal ini menyebabkan proses pertunjukan drama
menjadi proses yang multitafsir.
Drama memiliki unsur-unsur
pertunjukan. Unsur-unsur pertunjukan tersebut
terdiri dari penokohan, plot, amanat, tata rias, tata busana, tata panggung, properti,
pencahayaan dan musik pengiring. Untuk menghidupkan unsur-unsur tersebut,
maka perlu adanya keahlian tersendiri yang dimiliki oleh sutradara, pemain
lakon, dan pelaku artistik. Visualisasi terhadap unsur-unsur ini akan membuat
pertunjukan tersebut dapat dinilai dan dinikmati secara jelas oleh penonton.
Pada akhirnya penonton tidak hanya berimajinasi saja terhadap segala hal
yang hanya ada pada teks drama. Endraswara (2011:40) mengemukakan bahwa
dunia panggung akan menentukan keberhasilan penonton menikmati drama.
Eksistensi penonton dalam
pertunjukan drama menjadi penting karena penontonlah
yang akan memberikan apresiasi terhadap pertunjukan drama. Pertunjukan
drama bagi penonton adalah objek estetis. Sebagai sarana interpretasi kehidupan,
pertunjukan drama mempunyai nilai yang sangat penting untuk pendidikan
bagi para penonton. Endraswara (2011:11) mengemukakan bahwa drama
tanpa penonton tidaklah lengkap karena drama merupakan sebuah pertunjukan
seni. Drama tanpa penonton jelas sulit ditafsirkan, apakah menarik atau
tidak. Penilaian penonton terhadap karya sastra dalam dikenal dengan
istilah resepsi. Menurut Pradopo dkk (2001:117) “resepsi sastra secara
singkat dapat
disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik
tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu”.
Tingkat pengetahuan, pengalaman
serta penerimaan dari tiap-tiap individu akan
mempengaruhi pula penilaiannya dalam memberikan tanggapan. Dalam ilmu sastra
hal ini sering disebut dengan perbedaan cakrawala harapan atau horison harapan.
Resepsi pertunjukan drama berfungsi agar penonton dapat memberikan tanggapan
terhadap apa yang disimak. Tanggapan-tanggapan dari penonton bisa berbeda-beda.
Penonton dalam hal ini telah memiliki pengalaman serta pengetahuan
tersendiri untuk memberikan tanggapannya terhadap apa yang akan
disimak dalam pertunjukan drama. Endraswara (2011:396) mengemukakan bahwa
hubungan drama dengan audien mengandung implikasi estetik dan komunikatif.
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
DAFTAR
RUJUKAN