Rabu, 01 April 2015

Pengkajian Teater Interdisipliner




PENGKAJIAN TEATER INTERDISIPLINER

MAKALAH
Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Kajian Drama
Dosen Pengampu Drs. Larlen, M.Pd

Oleh
Kelompok II
Teja Pratama               A1B112003
Herti Gustina              A1B112005
Imadona                      A1B112007
Fitri Lestari                 A1B112025
Mesha Nita Sari          A1B112053
Semester IV, Kelas A
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
Oktober, 2014


KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas rahmat dan hiyadah yang telah Ia berikan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada wak-tunya.
Kemudian ucapan terima kasih penulis haturkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, baik berupa sarana dan prasarana maupun berupa ide-ide atau gagasan-gagasan sehingga makalah ini dapat tersele-saikan dengan baik.
Makalah ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Kajian Drama sebagai bahan latihan dalam membuat sebuah makalah ilmiah. Dalam makalah ini penulis mengangkat topik bahasan mengenai Pengkajian Teater Inter-disipliner. Melihat pentingnya gaya bahasa dalam karya sastra sebagai unsur pem-bangun dari sebuah karya sastra.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, apabila ada kesalahan dan ke-kurangan penulis mohon maaf. Kritik maupun saran dibuka demi perbaikan maka-lah ini untuk selanjutnya.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Jambi,    Oktober 2014

Penulis



Text Box: i
 




DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1  Latar Belakang Masalah.................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah........................................................................................... 1
1.3  Tujuan Penulisan............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
2.1  Hakikat Teater................................................................................................
2.2  Pengkajian Teater Interdisipliner....................................................................
BAB III PENUTUP............................................................................................. 19
Simpulan................................................................................................................ 19
DAFTAR RUJUKAN.......................................................................................... 20



 

 














BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pengkajian teater interdisipliner mengkaji berbagai macam disiplin ilmu yang menerapkan berbagai macam ilmu ke dalam teater. Dalam berperan teater perlu ilmu-ilmu lain yang menopang berjalannya teater. Ilmu-ilmu yang ada di antaranya yaitu ilmu psikologi, semiotika, sosiologi, pragmatik dan resepsi drama.
Ilmu psikologi membahas masalah kejiwaan pengarang dan masuk ke dalam peran sutradara, sedangkan ilmu semiotik adalah ilmu tanda-tanda mengungkapkan bahasa yang digunakan dalam teater. Sosiologi adalah ilmu yang termasuk sosial masyarakat bagaimana teater itu di dalam masyarakat. Dan ada juga pragmatik yang membahas bagaimana seorang penonton memaknai sebuah karya drama atau teater saat teater itu di tampilkan. Yang terakhir adalah reserpsi adalah respon atau tanggapan penonton atas apa yang ada di dalam penampilan teater.
1.2  Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi penyimpangan ataupun kerancuan terhadap makalah ini, maka penulis memberi batasan terhadap pembahasan dengan ruang lingkup berkisar judul yang tertera. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini meliputi:
a.       Bagaimanakah pendekatan psikologi teater?
b.      Bagaimanakah pendekatan semiotika teater?
c.       Bagaimanakah pendekatan sosiologi teater?
d.      Bagaimanakah pendekatan pragmatik teater?
e.       Bagaimanakah pendekatan resepsi drama?

1.3  Manfaat dan Tujuan penulisan
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam mengkaji sebuah karya sastra (teater).
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu agar baik pembaca maupun penulis dapat:
a.       Mengetahui bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan psikologi.
b.      Mengetahui bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan semiotika.
c.       Mengetahui bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan sosiologi.
d.      Mengetahui bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan pragmatik.
e.       Mengetahui bagaimana pengkajian teater dengan pendekatan resepsi.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pendekatan Psikologi Teater
Psikologi berasal dari bahasa Latin, yaitu psyche berarti jiwa dan logos artinya ilmu. Dengan demikian psikologi dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ilmu jiwa. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian ‘psikologi’ adalah ilmu yang berkaitan dengan proses-proses mental baik normal maupun abnormal yang pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (1995:792).
Aminuddin (1990:49) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tentang tingkah laku dan perbuatan individu semua berbentuk dorongan (impulsum: dorongan, tolakan, rangsangan, rasa) dalam diri manusia yang menyebabkan timbulnya macam-macam aktifitas fisik dan psikis dijelaskan oleh psikologis.
Pendapat Aminuddin di atas menunjukkan bahwa mempelajari jiwa manusia harus dilihat dari tingkah laku dan perbuatan individu yang berdasarkan tingkah lakunya sehari-hari. Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas peristiwa perilaku yang beragam. Bila kita ingin melihat dan mengenal tokoh Rosa dalam drama Pertja karya Benjo lebih dalam diperlukan psikologi. Penjelasan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih lanjut tentang seluk-beluk manusia yang unik merupakan sesuatu yang merangsang dan sangat menarik. Banyak penulis dan peneliti sastra yang mendalami masalah psikologi untuk dapat memahami karya sastra dengan bantuan psikologi.
Teori-teori mengenai psikologi sastra terus berkembang seiring dengan berjalanya waktu. Reokhan dalam Aminuddin (1990:89) mengatakan bahwa, psikologi sastra sebagai salah satu disiplin ilmu ditopang oleh tiga pendekatan studi, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis penulis dalam proses kreatif yang terproyeksi lewat karya ciptaannya, (2) pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra dan (3) pendekatan reseptif pragmatis yang mengkaji aspek psikologis pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya sastra yang dinikmatiknya serta proses rekreatif yang ditempuh dalam menghayati teks sastra tersebut.
Secara definitif, tujuan psikologis sastra adalah memahami  aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Dalam bukunya Wellek dan Warren (1962:90) menyebutkan bahwa psikologis sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian: (1) Studi psikologis pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2) Studi proses kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologis yang diterapkan pada karya sastra, (4) Mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologis pembaca).
Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah atau subcooncius. Setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar dalam bentuk penciptaan karya sastra. Jadi, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam dua tahap, tahap pertama dalam bentuk meramu gagasan dalam situasi imajinatif dan abstrak kemudian dipindahkan ke dalam tahap kedua yaitu penulisan karya yang sifatnya mengkonkretkan apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak.
Freud dengan teori psikoanalisisnya menggambarkan bahwa pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra diserang oleh penyakit jiwa yang dinamakan neurosis. Bukan hanya itu saja, bahkan kadang-kadang sampai pada tahap psikosis seperti sakit saraf dan mental yang membuatnya berada dalam kondisi sebagai tertekan (bukan berarti gila), berkeluh kesah akibat ide dan gagasan yang menggelora serta menghendaki agar disublimasikan atau disalurkan dalam bentuk penciptaan yaitu karya sastra. Sastra sebagai gejala kejiwaan di dalamya terkandung fenomena kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian, karya sastra (teks sastra) dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologis. Hal ini tentu dapat kita terima karena antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional. Tidak langsung artinya hubungan itu ada karena baik sastra maupun psikologi kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama yaitu kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapan itu setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk sebuah karya sastra. Perbedaannya adalah pengarang mengemukakannya dalam bentuk formulasi penelitian psikologi. Dengan demikian tidaklah mengada-ada kalau antara sastra dan psikologi dapat dilakukan kajian lintas disiplin ilmu. Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari manusia imajiner sedangkan dalam psikologis manusia dalam dunia nyata. Sekalipun demikian keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia karena mungkin saja apa yang terungkap oleh pengarang tidak mampu diamati oleh psikolog atau bahkan sebaliknya.
Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena hakekat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri. Perilaku yang tampak dalam kehidupan diri mereka masing-masing. Apa yang diperhatikan belum tentu sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi dalam dirinya karena manusia sering berusaha menutupinya. Kejujuran, kecintaan, kemunafikan, dan lain-lain berada dalam batin masing-masing yang terkadang terlihat gejalanya dari luar dan kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu, kajian tentang tokoh harus ditekannya pada aspek kejiwaan dan tentu saja tidak lepas dari teori psikologi.
2.2  Pendekatan Semiotik Teater
Secara etimologi semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion, yang berarti tanda. Tanda itu sendiri membentang di kehidupan kita, seperti halnya pada gerak isyarat, lampu lalu lintas, sesaji dalam upacara pernikahan, dan sebagainya. Istilah semiotika memang belum lama kita kenal, mungkin baru dua dasawarsa terakhir atau mungkin kurang dari itu. Semiotika sendiri adalah suatu pemahaman mengenai realistis, sedangkan fenomena semiotika (semiosis) adalah realitas itu sendiri. Secara sederhana semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang tanda dan sistem tanda. Aart van Zoest menyebutkan semiotika adalah studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda dan cara fungsinya, seperti hubungan dengan tanda-tanda, pengiriman dan penerimaan. Adapula yang mengatakan semiotika adalah ilmu secara sistematik yang mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang dan proses perlambangan. Keir Elam ahli teater mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang dipersembahkan khusus ke studi produksi makna dalam masyarakat. Lebih jauh Elam menambahkan bahwa obyek-obyek semiotika adalah kode-kode dan sistem-sistem tanda yang beropeasi di masyarakat, pesan-pesan yang aktual dan teks-teks yang diproduksi dengan cara demikian. Definisi-definisi tersebut menjadi kompleks ketika muncul tuntutan untuk mendefinisikan apa yang disebut dengan tanda, kesulitan membangun kesepakatan tentang mendefinisikan bisa mempersulit definisi tentang tanda. Idealnya, semiotika adalah suatu ilmu yang multidisipliner yang akurasi karakteristik-karakteristik metodologinya bervariasi.
Tujuan mempelajari semiotika teater adalah untuk melihat bagaimana makna ditetapkan melalui elemen-elemen yang terlibat dalam teks drama dan bagaimana makna diciptakan di dalam suatu konteks pertunjukan. Menurut Aston & Savona semiotika memiliki implikasi-implikasi yang jelas untuk studi drama dan teater, dengan maksud semiotika memungkinkan investigasi terhadap teks drama secara struktural, semiotika di dalam teater juga dipakai untuk menganalisa bahasa, wacana bahasa-bahasa, fisik di dalam setiap teks drama. Sedangkan penyebutan drama dan teater sudah memiliki arti yang berbeda. Istilah teater adalah fenomena dimana adanya hubungan antara performer dan audiens, yakni berhubungan dengan produksi dan komunikasi makna dalam pertunjukan itu sendiri. Sedangkan istilah drama lebih pada karya fiksi yang didesain untuk representasi panggung dengan konvensi-konvensi drama yang spesifik. Dengan kata lain lingkup kerja semiotikawan teater ada 2 yaitu: teks drama (tertulis) dan teks pertunjukan (pertunjukan teater), ruang lingkup ini berbeda dengan semiotikawan sastra yang hanya mengacu pada teks tertulis saja.
2.3  Pendekatan Sosiologi Teater
Pada dasarnya Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dalam mekanisme kerjanya dan bagaimana masyarakat itu bertahan hidup. Yang menjadi objek permasalahan sosiologi sastra adalah masyarakat. Berangkat dari pertanyaan berikut, seperti halnya sosiologi sastrapun berurusan dengan manusia yang terdapat dalam masyarakat. Dalam hal ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra memiliki berbagai masalah yang sama.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial. Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
a.       Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112).
b.      Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122) beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
c.       Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989:3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
a.       Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan:
1)      bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung atau pekerjaan yang lainnya,
2)      profesionalisme dalam kepengarangannya, dan
3)      masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
b.      Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah:
1)      sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis,
2)      sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya,
3)      genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat,
4)      sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
c.       Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungs sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term, Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1)      Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2)      Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3)      Audien atau pembaca (1981: 178).
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003:79). Sementara, Faruk (1994:1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan resiprokal itu. Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Menurut Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
1)      Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya,
2)      Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya,
3)      Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi,
4)      Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat, dan
5)      Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
2.4  Pendekatan Pragmatik Teater
Pendekatan pragmatik merupakan salah satu bagian dari ilmu sastra  yang menitikberatkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna karya sastra (Teew, 1984:50). Pendekatan pragmatis menurut Abram (1958:14-21) memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau penerimaan pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.
Menurut Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatik, mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi. Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca.
Berdasarkan pikiran-pikiran di atas, dapat diambil pengertian bahwa pragmatik adalah cara mengkaitkan sesuatu atau karya sesuai dengan  kegunaannya atau telaah hubungan karya sastra dengan penafsir dengan disikapi secara kontekstual. Di dalam sastra ada tiga kode yang  saling signifikan, yaitu kode bahasa, budaya, dan kode sastra sendiri. Ketiga kode ini tidak seluruhnya dapat diamati secara empirik. Kode bahasa misalnya, secara realitas  memang dapat diamati oleh indera, tetapi untuk memahaminya diperlukan sejumlah lokus makna lainnya yang terdapat pada kesadaran subjektif. Demikian juga dengan kode budaya dan kode sastra  tidak terlepas dari lokus pemaknaan lainnya.
Dalam literatur yang berkaitan dengan pragmatik, adapula yang menekankan kepada struktur bahasa, aspek  makna tertentu, dan hakikat ketergantungan dengan konteks, seperti yang dipaparkan sebagai berikut ini:
a.       Pragmatik adalah studi tentang hubungan-hubungan antar bahasa dengan konteks yang digramatikalisasikan atau dikodekan dalam struktur suatu bahasa;
b.      Pragmatik adalah studi tentang semua aspek makna yang tidak terliput dalam teori semantik;
c.       Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar untuk uraian pemahaman bahasa;
d.      Pragmatik adalah studi tentang  kemampuan pemakaian bahasa untuk memadankan kalimat dengan konteks yang tepat; dan
e.       Pragmatik adalah studi tentang dieksis, implikasi, prasuposisi, tindak ujar, dan aspek struktur wacana.
Dari beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksudkan  dengan pendekatan pragmatik dalam tulisan ini adalah cara mengkaitkan hubungan kode-kode bahasa sebagai media ekspresif karya sastra dengan penafsir sebagaimana pengertian pragmatik yang dirumuskan oleh Morris dalam Tarigan dan Van  Dijk terdahulu. Sedangkan penafsiran yang dimaksud adalah begaimana penafsiran atau interpretasi pembaca terhadap makna kode tersebut. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa pendekatan pragmatik adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam menelaah karya sastra (drama) berdasarkan resepsi personal pembaca (interpretator) terhadap kode atau unsur-unsur yang terdapat dalam drama.
2.5  Pendekatan Resepsi Teater
Pertunjukan drama merupakan sebuah kerja kolektif. Sebagai kerja seni yang kolektif, pertunjukan drama memiliki proses kreatifitas yang bertujuan agar dapat memberikan sajian yang layak bagi penontonnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Endraswara (2011:38) yang mengemukakan bahwa pementasan drama merupakan karya kolektif yang dikoordinasikan oleh sutradara, yaitu pekerja teater yang kecakapan dan keahliannya memimpin aktor-aktris dan pekerja teknis dalam pementasan.
Pada dasarnya naskah drama menjadi karya sastra jika dihadirkan hanya sebagai sebuah naskah tertulis. Karya tersebut akan memiliki dimensi yang berbeda jika divisualisasikan dalam bentuk seni pertunjukan. Penyimak pertunjukan drama tersebut dapat menikmati dan menilai sebuah karya melalui bacaan maupun menyaksikannya melalui seni pertunjukan. Dewojati (2010:5) mengemukakan bahwa dalam dimensi seni pertunjukan, drama dapat memberi pengaruh emosional yang lebih besar dan terarah pada penikmat atau audiensnya.
Sebagai sebuah pertunjukan, drama akan melalui proses penggarapan. Proses ini dipimpin langsung oleh sutradara. Dalam menyajikan sebuah pertunjukan drama, peran sutradara sangat penting. Sutradara akan dibantu oleh pelaku seni lainnya yang terlibat dalam proses tersebut. Kreatifitas sutradara untuk menciptakan sebuah pertunjukan drama tentunya dibekali oleh pengalaman serta pengetahuannya dalam hal menginterpretasi dan menyajikan pertunjukan. Santosa dkk (2008:44) mengemukakan bahwa baik buruknya pementasan drama sangat ditentukan oleh kerja sutradara. Interpretasi sutradara terhadap naskah drama bisa saja berbeda dengan penulis naskah. Interpretasi sutradara merupakan acuan utama pada proses penggarapan pertunjukan tersebut. Di samping itu ada pemain lakon dan juga tim artistik yang akan menginterpretasikan apa yang menjadi keinginan sutradara. Rangkaian interpretasi ini akan berakhir pada interpretasi penonton sebagai penyimak pertunjukan drama tersebut. Hal ini menyebabkan proses pertunjukan drama menjadi proses yang multitafsir.
Drama memiliki unsur-unsur pertunjukan. Unsur-unsur pertunjukan tersebut terdiri dari penokohan, plot, amanat, tata rias, tata busana, tata panggung, properti, pencahayaan dan musik pengiring. Untuk menghidupkan unsur-unsur tersebut, maka perlu adanya keahlian tersendiri yang dimiliki oleh sutradara, pemain lakon, dan pelaku artistik. Visualisasi terhadap unsur-unsur ini akan membuat pertunjukan tersebut dapat dinilai dan dinikmati secara jelas oleh penonton. Pada akhirnya penonton tidak hanya berimajinasi saja terhadap segala hal yang hanya ada pada teks drama. Endraswara (2011:40) mengemukakan bahwa dunia panggung akan menentukan keberhasilan penonton menikmati drama.
Eksistensi penonton dalam pertunjukan drama menjadi penting karena penontonlah yang akan memberikan apresiasi terhadap pertunjukan drama. Pertunjukan drama bagi penonton adalah objek estetis. Sebagai sarana interpretasi kehidupan, pertunjukan drama mempunyai nilai yang sangat penting untuk pendidikan bagi para penonton. Endraswara (2011:11) mengemukakan bahwa drama tanpa penonton tidaklah lengkap karena drama merupakan sebuah pertunjukan seni. Drama tanpa penonton jelas sulit ditafsirkan, apakah menarik atau tidak. Penilaian penonton terhadap karya sastra dalam dikenal dengan istilah resepsi. Menurut Pradopo dkk (2001:117) “resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu”.
Tingkat pengetahuan, pengalaman serta penerimaan dari tiap-tiap individu akan mempengaruhi pula penilaiannya dalam memberikan tanggapan. Dalam ilmu sastra hal ini sering disebut dengan perbedaan cakrawala harapan atau horison harapan. Resepsi pertunjukan drama berfungsi agar penonton dapat memberikan tanggapan terhadap apa yang disimak. Tanggapan-tanggapan dari penonton bisa berbeda-beda. Penonton dalam hal ini telah memiliki pengalaman serta pengetahuan tersendiri untuk memberikan tanggapannya terhadap apa yang akan disimak dalam pertunjukan drama. Endraswara (2011:396) mengemukakan bahwa hubungan drama dengan audien mengandung implikasi estetik dan komunikatif.


BAB III
PENUTUP
Simpulan








DAFTAR RUJUKAN