Minggu, 22 Maret 2015

Adegan Pasar Anak Jalanan



ADEGAN PASAR ANAK JALANAN

CERPEN
Disusun sebagai Tugas Akhir Mata kuliah Menulis Prosa Fiksi
Dosen Pengampu Dr. Maizar Karim, M.Hum.,

Oleh
Herti Gustina
NIM A1B112005
Semester IV, Kelas A


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
JULI, 2014



ADEGAN PASAR ANAK JALANAN
Jambi, 6 Juli 2014
Krasak-krusuk bunyi kresek, klakson, iklan berbaris yang mempromosikan barang dagangannya, tawar-menawar pilihan, hingga gonta-ganti uang barang. Berpidatolah para pedagang pasar, memproklamirkan kehebatan barang dagangannya. Si pembeli dengan acuh tak acuh mondar-mandir mengitari pasar. Mencari barang yang hendak ia kantongkan di tas belanja. Sorak-sorai dengan berbagai irama, aroma-aroma dengan berbagai rasa, dan warna-warna dengan berbagai rupa. Semua membaur membentuk gubahan artefak yang abstrak di tengah-tengah kerumunan pasar.
Dalam ruang markas di tengah pasar, berkumpullah beberapa orang lelaki dengan berpakaian serba hitam serta tindik yang ia pasang di hidung, telinga, dan bibirnya. Mereka berdandan dengan style yang aneh dan mencolok. Mengenakkan jaket kulit hitam dan potongan rambut yang serba berwarna-warni bertabrakan corak warna. Salah satu di antara mereka berbadan kekar dengan gaya potongan rambut yang menancap di sebagian kepalanya seperti bulu landak mekar dengan warna kuning-merah. Namun sebagian dari mereka kurus ceking di makan ulat-ulat air keras dan aroma gelap angin malam. Mata sembap, merah seperti menahan kantuk yang berkepanjangan. Aroma badan serupa sayur busuk di makan kuman jalanan. Seperti kain lembab, pengap dimainkan oleh cuaca.
Pria berbadan kekar naik ke atas tumpukan kayu bekas tempat barang dagangan para lakon pasar. Berdiri tegap layaknya di atas mimbar ingin menyampaikan khotbahnya. Semua bergegas berkumpul duduk di sekeliling mimbar Si Pria Kekar tersebut. Diam, duduk, tenang. Mereka seperti budak yang sedang berhadapan dengan tuannya. Begitu khusyuk mendengarkan orasi dari ketua.
“Loe, Loe semua harus bisa dapetin duit buat kasih makan cacing-cacing di perut Loe semua tu dan perut gue!”, dengan bringas menghentakkan kakinya yang besar pada tumpukan kayu tempat dagangan.
“Kalo Loe pada membantah, mending loe cabut dan pesta ni hanya untuk gue dan semua yang mau nurut perintah gue, ngerti!”
Serentak semuanya mengangguk serupa ayam kampung sedang mematuk-matuk makanannya. Tidak ada yang berani buka mulut kecuali memampang wajah ciut ketakutan.
“Sekarang, Loe pergi, cari duit sebanyak-banyaknya. Ntar sore kita kumpul di sini. Ada pertanyaan?”
Seorang ceking dengan hanya berbalutkan kulit tipis menyelimuti tulangnya angkat bicara.
“Bos, ntar kita pesta-pesta kan? Udah lama nih gak bikin pesta-pesta lagi!” sambil cengingisan memperlihatkan gusinya yang hitam akibat asap knalpot rokok batangan.
“Iya. Ntar gue yang atur semuanya.” Desis-desis bisikan kegembiraan bersuara dalam sunyi ketaatan. “Sudah... sudah... kerja!” sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan wajahnya yang bringasan.
Semua bergegas mengambil alat operasional mereka, sebuah gitar kecil dan kaleng bekas minuman soda. Lalu mereka berjalan mengitari seputaran pasar. Naik-turun bis dan keluar-masuk rumah makan. Suara yang pas-pasan tidak membuat mereka malu untuk unjuk gigi di depan kerumunan orang. Terus bernyanyi, mengumbar kegembiraan diri, berharap uang recehan memenuhi kaleng soda mereka.
“Jok, berani taruhan gak. Hari ini bakal dapat berapa?”, Si Ceking adu keberanian.
“Seribu di tangan. Hahaha....!”, jawab Si Jimbrut.
“Hahaha....!”, Si Ceking ikut cengingisan. “Ha,,itu target kita yang pertama!”, menunjuk ke arah rumah makan di seberang jalan.
Di rumah makan seberang jalan seorang pria berbadan tegap, tinggi, dan sedikit berisi serta berpakaian rapi lengkap dengan jas dan dasi tengah menunggu hidangan untuk makan siang. Si Ceking dan Jimbrut langsung menghampirinya. Tak banyak basa-basi mereka langsung memutar senar dengan olah vokal seadanya. Lagu Punk rock jalanan pun dinyanyikan. Sebuah lagu curhatan dari anak jalanan dengan kehidupan yang pas-pasan.
....
Dan kuhanyalah punk rock jalanan
Yang tak punya, harta berlimpah, dan mobil mewah
....
Satu lagu usai dinyanyikan. Lanjut ke lagu kedua untuk tambahan bagi yang ingin menambahkan saweran untuk mengisi kaleng bekas yang masih kosong. Si Ceking semakin semangat memainkan senar gitar kecilnya, sedang Si Jimbrut mulai berjalan menghampiri para tamu rumah makan dengan membawa kaleng soda bekas.
....
Andai aku Gayus Tambunan, yang bisa pergi ke Bali
Semua keinginannya, pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini, hukuman bisa dibeli
Kita orang yang lemah, taat akan keadaan
....
Saweran telah didapat, cukup untuk memenuhi satu kaleng soda milik mereka. Seorang pria berjas rapi yang daritadi menjadi target mereka mengeluarkan dompetnya. Selembar uang kertas berwarna merah dikeluarkan dari dompet kulit yang kelihatannya lebih mahal dari uang yang ia keluarkan.
“Buk, berapa semuanya?”, ia memanggil pelayan rumah makan.
“Empat puluh lima ribu, Pak.”, jawab pelayan rumah makan.
Ia lalu memberikan selembar uang tersebut kepada pelayan rumah makan. Kemudian menghabiskan minuman dingin yang masih tersisa di gelas kaca besar. Tak lama kemudian si pelayan datang dengan membawa selembar uang kertas bernominal lima ribu rupiah dan lima puluh ribu rupiah.
“Hei, sini!”, pria tersebut memanggil Si Ceking dan Jimbrut.
Ia kemudian memasukkan selembar uang lima ribu rupiah ke dalam kaleng soda bekas milik mereka. Lalu mengeluarkan dompet kulitnya kembali. Kemudian uang kertas biru yang masih ada di tangannya, ia masukkan ke dalam dompet. Dua botol air mineral ia berikan kepada Si Ceking dan Jimbrut yang kelihatannya cukup kehausan dengan keringat yang mengucur di dahinya yang hitam tersengat sinar matahari. Merekapun mengambil dan meneguk air tersebut sampai habis tanpa basa-basi.
“Kenapa kalian tidak bersekolah?”, tanya pria tersebut kepada Si Ceking dan Jimbrut.
Sontak mereka tersedak.
“Hah, sekolah? Untuk apa sekolah? Toh yang jadi pejabat sudah ada orangnya juga.” Jawab Ceking lancang.
“Sekolah itu kan penting, apalagi bagi kalian para generasi muda.” Tukas si pria dengan santai.
“Penting apanya? Sekolah itu bikin pusing. Pakaian harus serba sama, semua harus ngikut jadwal, bukannya dapat duit malah ngabisin duit. Satu lagi nih, PRnya tu lho bikin frustasi. Sekolah tu bikin anak muda seperti kita jadi gak bebas. Ya gak, King?”, jawab Si Jimbrut.
“Kalau saya tawarkan kalian untuk sekolah gratis gimana?” si pria tersebut menambahkan.
“Ogah, mending cari duit. Abis tu senang-senang.” pungkas Si Jimbrut sambil pergi meninggalkan rumah makan tersebut.
Mereka berdua kemudian pergi setelah menghabiskan botol minuman. Lalu berjalan menyusuri lorong-lorong pasar. Dan duduk sejenak mengitung isi kaleng yang telah mereka dapatkan.
“Apa-apaan nih, ngeluarin dompet bagus cuma ngasih duit lima ribu!”, Si Ceking tampak kesal.
“Iya nih. Tampangnya aja berduit, tapi pelit!”, tambah Si Jimbrut.
Setelah membereskan uang yang telah mereka dapatkan mereka lalu menuju ke tengah pasar, mencari target selanjutnya. Di tengah pasar, seorang anak kecil memakai seragam sekolah tengah membuntuti ibu-ibu yang sedang berbelanja di pasar. Kemudian, sreett... merebut dompetnya lalu berlari hilang di tengah pasar. Ibu tersebut sontak berteriak memecahkan irama pasar. Para penghuni pasar lalu gencar dan menyoroti Si Ceking dan Jimbrut yang kebetulan sedang berlari-lari kecil sambil membawa beberapa lembar uang kertas. Mereka lalu dikejar-kejar oleh penghuni pasar. Dan belum sempat menyelamatkan diri mereka telah ditangkap dan dikeroyoki para penghuni pasar. Setelah puas menghancur remukkan tubuh mereka, para penghuni pasar kemudian berinisiatif untuk membawa mereka ke kantor polisi.
“Tunggu sebentar! Bukan mereka yang mengambil dompetku.”, kata ibu yang telah dicopet tadi.
Para penghuni pasar tercengang, lalu melepaskan pegangan erat tangan mereka yang menyeret Si Ceking dan Jimbrut. Kemudian semua pergi meninggalkan Si Ceking dan Jimbrut yang tergeletak di tengah pasar dengan muka yang lebam penuh darah. Ibu tersebut lalu meminta maaf kepada mereka dan meninggalkan uang kertas seratus ribu rupiah, lalu pergi menuju kantor polisi untuk menyelamatkan dompetnya yang telah dicuri orang. Tinggallah Si Ceking dan Jimbrut dengan tubuh yang tergolek tak berdaya di tengah pasar. Merangkak seperti ulat-ulat pasar pemakan sayur busuk. Pakaian lusuh, kini semakin kumuh menyelimuti tubuh malang yang tak bertuan, bebas dari ikatan apapun. Tanpa ada satu mata yang mampu memapah tubuh yang tanpa kuasa.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar