ADEGAN PASAR ANAK JALANAN
CERPEN
Disusun sebagai Tugas Akhir Mata kuliah Menulis Prosa Fiksi
Dosen Pengampu Dr. Maizar Karim, M.Hum.,
Oleh
Herti Gustina
NIM A1B112005
Semester IV, Kelas A

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI


ADEGAN PASAR ANAK JALANAN
Jambi, 6 Juli 2014
Krasak-krusuk bunyi kresek, klakson, iklan berbaris
yang mempromosikan barang dagangannya, tawar-menawar pilihan, hingga
gonta-ganti uang barang. Berpidatolah para pedagang pasar, memproklamirkan
kehebatan barang dagangannya. Si pembeli dengan acuh tak acuh mondar-mandir
mengitari pasar. Mencari barang yang hendak ia kantongkan di tas belanja.
Sorak-sorai dengan berbagai irama, aroma-aroma dengan berbagai rasa, dan
warna-warna dengan berbagai rupa. Semua membaur membentuk gubahan artefak yang
abstrak di tengah-tengah kerumunan pasar.
Dalam ruang markas di tengah pasar, berkumpullah
beberapa orang lelaki dengan berpakaian serba hitam serta tindik yang ia pasang
di hidung, telinga, dan bibirnya. Mereka berdandan dengan style yang
aneh dan mencolok. Mengenakkan jaket kulit hitam dan potongan rambut yang serba
berwarna-warni bertabrakan corak warna. Salah satu di antara mereka berbadan
kekar dengan gaya potongan rambut yang menancap di sebagian kepalanya seperti bulu
landak mekar dengan warna kuning-merah. Namun sebagian dari mereka kurus ceking
di makan ulat-ulat air keras dan aroma gelap angin malam. Mata sembap, merah
seperti menahan kantuk yang berkepanjangan. Aroma badan serupa sayur busuk di
makan kuman jalanan. Seperti kain lembab, pengap dimainkan oleh cuaca.
Pria berbadan kekar naik ke atas tumpukan kayu bekas
tempat barang dagangan para lakon pasar. Berdiri tegap layaknya di atas mimbar
ingin menyampaikan khotbahnya. Semua bergegas berkumpul duduk di sekeliling
mimbar Si Pria Kekar tersebut. Diam, duduk, tenang. Mereka seperti budak yang
sedang berhadapan dengan tuannya. Begitu khusyuk mendengarkan orasi dari ketua.
“Loe, Loe semua harus bisa dapetin duit buat kasih
makan cacing-cacing di perut Loe semua tu dan perut gue!”, dengan bringas menghentakkan kakinya yang besar
pada tumpukan kayu tempat dagangan.
“Kalo Loe pada membantah, mending loe cabut dan
pesta ni hanya untuk gue dan semua yang mau nurut perintah gue, ngerti!”
Serentak semuanya mengangguk serupa ayam kampung
sedang mematuk-matuk makanannya. Tidak ada yang berani buka mulut kecuali
memampang wajah ciut ketakutan.
“Sekarang, Loe pergi, cari duit sebanyak-banyaknya.
Ntar sore kita kumpul di sini. Ada pertanyaan?”
Seorang ceking dengan hanya berbalutkan kulit tipis
menyelimuti tulangnya angkat bicara.
“Bos, ntar kita pesta-pesta kan? Udah lama nih gak
bikin pesta-pesta lagi!” sambil
cengingisan memperlihatkan gusinya yang hitam akibat asap knalpot rokok
batangan.
“Iya. Ntar gue yang atur semuanya.” Desis-desis bisikan kegembiraan bersuara dalam sunyi
ketaatan. “Sudah... sudah... kerja!” sambil menghentak-hentakkan kakinya
dengan wajahnya yang bringasan.
Semua bergegas mengambil alat operasional mereka,
sebuah gitar kecil dan kaleng bekas minuman soda. Lalu mereka berjalan
mengitari seputaran pasar. Naik-turun bis dan keluar-masuk rumah makan. Suara
yang pas-pasan tidak membuat mereka malu untuk unjuk gigi di depan kerumunan
orang. Terus bernyanyi, mengumbar kegembiraan diri, berharap uang recehan memenuhi
kaleng soda mereka.
“Jok, berani taruhan gak. Hari ini bakal dapat
berapa?”, Si Ceking adu
keberanian.
“Seribu di tangan. Hahaha....!”, jawab Si Jimbrut.
“Hahaha....!”, Si Ceking ikut cengingisan. “Ha,,itu target kita yang pertama!”,
menunjuk ke arah rumah makan di seberang jalan.
Di rumah makan seberang jalan seorang pria berbadan
tegap, tinggi, dan sedikit berisi serta berpakaian rapi lengkap dengan jas dan
dasi tengah menunggu hidangan untuk makan siang. Si Ceking dan Jimbrut langsung
menghampirinya. Tak banyak basa-basi mereka langsung memutar senar dengan olah
vokal seadanya. Lagu Punk rock jalanan pun dinyanyikan. Sebuah lagu
curhatan dari anak jalanan dengan kehidupan yang pas-pasan.
....
Dan kuhanyalah punk rock jalanan
Yang tak punya, harta berlimpah, dan mobil mewah
....
Satu lagu usai dinyanyikan. Lanjut ke lagu kedua
untuk tambahan bagi yang ingin menambahkan saweran untuk mengisi kaleng bekas
yang masih kosong. Si Ceking semakin semangat memainkan senar gitar kecilnya,
sedang Si Jimbrut mulai berjalan menghampiri para tamu rumah makan dengan
membawa kaleng soda bekas.
....
Andai aku Gayus Tambunan, yang bisa pergi ke Bali
Semua keinginannya, pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini, hukuman bisa dibeli
Kita orang yang lemah, taat akan keadaan
....
Saweran telah didapat, cukup untuk memenuhi satu
kaleng soda milik mereka. Seorang pria berjas rapi yang daritadi menjadi target
mereka mengeluarkan dompetnya. Selembar uang kertas berwarna merah dikeluarkan
dari dompet kulit yang kelihatannya lebih mahal dari uang yang ia keluarkan.
“Buk, berapa semuanya?”, ia memanggil pelayan rumah makan.
“Empat puluh lima ribu, Pak.”, jawab pelayan rumah makan.
Ia lalu memberikan selembar uang tersebut kepada
pelayan rumah makan. Kemudian menghabiskan minuman dingin yang masih tersisa di
gelas kaca besar. Tak lama kemudian si pelayan datang dengan membawa selembar
uang kertas bernominal lima ribu rupiah dan lima puluh ribu rupiah.
“Hei, sini!”, pria tersebut memanggil Si Ceking dan Jimbrut.
Ia kemudian memasukkan selembar uang lima ribu
rupiah ke dalam kaleng soda bekas milik mereka. Lalu mengeluarkan dompet
kulitnya kembali. Kemudian uang kertas biru yang masih ada di tangannya, ia
masukkan ke dalam dompet. Dua botol air mineral ia berikan kepada Si Ceking dan
Jimbrut yang kelihatannya cukup kehausan dengan keringat yang mengucur di
dahinya yang hitam tersengat sinar matahari. Merekapun mengambil dan meneguk
air tersebut sampai habis tanpa basa-basi.
“Kenapa kalian tidak bersekolah?”, tanya pria tersebut kepada Si Ceking dan Jimbrut.
Sontak mereka tersedak.
“Hah, sekolah? Untuk apa sekolah? Toh yang jadi
pejabat sudah ada orangnya juga.” Jawab Ceking lancang.
“Sekolah itu kan penting, apalagi bagi kalian para
generasi muda.” Tukas si pria
dengan santai.
“Penting apanya? Sekolah itu bikin pusing. Pakaian
harus serba sama, semua harus ngikut jadwal, bukannya dapat duit malah ngabisin
duit. Satu lagi nih, PRnya tu lho bikin frustasi. Sekolah tu bikin anak muda seperti
kita jadi gak bebas. Ya gak, King?”, jawab Si Jimbrut.
“Kalau saya tawarkan kalian untuk sekolah gratis
gimana?” si pria tersebut menambahkan.
“Ogah, mending cari duit. Abis tu senang-senang.” pungkas Si Jimbrut sambil pergi meninggalkan rumah
makan tersebut.
Mereka berdua kemudian pergi setelah menghabiskan
botol minuman. Lalu berjalan menyusuri lorong-lorong pasar. Dan duduk sejenak
mengitung isi kaleng yang telah mereka dapatkan.
“Apa-apaan nih, ngeluarin dompet bagus cuma ngasih
duit lima ribu!”, Si Ceking
tampak kesal.
“Iya nih. Tampangnya aja berduit, tapi pelit!”, tambah Si Jimbrut.
Setelah membereskan uang yang telah mereka dapatkan
mereka lalu menuju ke tengah pasar, mencari target selanjutnya. Di tengah
pasar, seorang anak kecil memakai seragam sekolah tengah membuntuti ibu-ibu
yang sedang berbelanja di pasar. Kemudian, sreett... merebut dompetnya lalu
berlari hilang di tengah pasar. Ibu tersebut sontak berteriak memecahkan irama
pasar. Para penghuni pasar lalu gencar dan menyoroti Si Ceking dan Jimbrut yang
kebetulan sedang berlari-lari kecil sambil membawa beberapa lembar uang kertas.
Mereka lalu dikejar-kejar oleh penghuni pasar. Dan belum sempat menyelamatkan
diri mereka telah ditangkap dan dikeroyoki para penghuni pasar. Setelah puas
menghancur remukkan tubuh mereka, para penghuni pasar kemudian berinisiatif
untuk membawa mereka ke kantor polisi.
“Tunggu sebentar! Bukan mereka yang mengambil
dompetku.”, kata ibu yang telah
dicopet tadi.
Para penghuni pasar tercengang, lalu melepaskan
pegangan erat tangan mereka yang menyeret Si Ceking dan Jimbrut. Kemudian semua
pergi meninggalkan Si Ceking dan Jimbrut yang tergeletak di tengah pasar dengan
muka yang lebam penuh darah. Ibu tersebut lalu meminta maaf kepada mereka dan
meninggalkan uang kertas seratus ribu rupiah, lalu pergi menuju kantor polisi
untuk menyelamatkan dompetnya yang telah dicuri orang. Tinggallah Si Ceking dan
Jimbrut dengan tubuh yang tergolek tak berdaya di tengah pasar. Merangkak
seperti ulat-ulat pasar pemakan sayur busuk. Pakaian lusuh, kini semakin kumuh
menyelimuti tubuh malang yang tak bertuan, bebas dari ikatan apapun. Tanpa ada
satu mata yang mampu memapah tubuh yang tanpa kuasa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar