MEMBUAT CERPEN DENGAN TEMA BEBAS
TUGAS
Sebagai Tugas Harian Mata Kuliah Menulis
Prosa Fiksi
Dosen
Pengampu Dr. Maizar Karim, M.Hum
Oleh
Herti
Gustina
A1B112005
Semester
IV, Kelas A

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI

TOGA SI ANAK NEGERI
Perjalanan mengitari sudut dunia terus berlanjut hingga sekarang.
Lelaki tua dengan jubah hitam yang menyelimuti tubuhnya yang tegap berjalan
menyusuri pelosok kota. Dia se-perti mencari sesuatu dengan toga yang ia pegang
di tangan kanannya. Sesekali ia mengamati anak kecil yang sedang menghitung
kerikil. Lalu berjalan lagi mengikuti arus jalanan panjang kehidupan dunia. Di
ransel yang ia pangku di punggungnya, ia simpan sebuah buku kosong dan sebuah
pena tinta warna hitam. Sesekali ia buka dan ia tuliskan sesuatu di kertas buku
tersebut. Entah narasi apa yang sedang ia isi. Tinta-tinta berbaris rapi di
tiap garis-garis lembaran bukunya. Sambil menghatur langkah tegap menuju ke
sebuah arah tak berkompas.
“Ah... masih sedikit!”, keluhnya sambil menuliskan sesuatu di dalam
buku kosong tersebut.
Ia teruskan langkah dan terhenti di sebuah terminal. Kelihatannya
ia ingin meninggal-kan kampung halamannya. Namun hanya berbekalkan satu tas
ransel yang terisi penuh ia su-dah tampak cukup yakin untuk menjajal dunia.
Entah apa isi tas itu. Entah hanya lembaran-lembaran pakaian yang mungkin akan
ia gunakan dalam perjalanan nanti atau mungkin harta karun yang isinya emas
berlian untuk ia bawa sebagai bekal tujuh turunan. Entahlah, yang pasti buku kosong
dan pena itu pasti ada di dalamnya. Apa yang sebenarnya ia cari, si musa-fir
tak berkompas. Terus ia berjalan dan terhenti di sebuah rumah.
“Aku ingin pergi sejenak. Ada hal yang harus aku kerjakan.”, kata
si musafir tersebut.
“Ayah, tetaplah di sini. Tubuhmu sudah tidak kuat lagi untuk
memikul langkah kaki-mu yang tak henti mengikuti ilusi.”, lelaki paruh baya itu
menahannya.
“Ini masih sedikit. Aku masih harus menyelesaikannya sebelum usiaku
usai.”, dia te-tap pada pendiriannya.
“Baiklah. Tapi cukuplah ini yang terakhir. Selesaikan lalu
kembalilah!”
Si musafir tua kemudian meneruskan langkah kakinya, menaiki sebuah
bus arah Ja-karta. Duduk diam, lalu membuka buku dan penanya. Kembali ia
menuliskan sesuatu yang ti-dak ada satu orangpun pernah membacanya. Ia layaknya
seorang seniman yang melukiskan kata dengan tinta, namun lukisannya tersembunyi
di balik sampul buku. Sesekali ia menyulut rokok yang sedari tadi mengapit di
jari telunjuk dan jari tengahnya. Hisapan yang nikmat, menghembuskan asap
kehidupan yang tenteram, jauh dari masalah duniawi. Ia tampak sangat menikmati
hisap hembus pembakaran tembakau. Dan asapnya mengepul seiring dengan ke-luarnya
kata-kata di ujung pena. Kepulan itu seperti kumpulan huruf yang kemudian ia
rang-kai di baris tulisan di bukunya.
Aroma kota mulai tercium, pertanda Jakarta sudah mulai dimasuki.
Semua irama tan-pa warna bercampur baur di jalanan kota. Gedung menggunung
berjejer di sekitaran kota, se-dang di pinggirnya beralaskan kardus membentuk
kota kotak. Semua tampak sedemikian ru-pa bertumburan warna, memecahkan menjadi
beberapa bagian yang membentuk suatu eko-sistem yang diagonal. Pemandangan ini
sangat menarik perhatian lelaki tua tersebut. Sambil tersenyum, ia tarikan
jemari berdansa bersama pena. Pikirannya berasoasi membentuk sebuah mimpi.
Matanya menjalar mengitari seputaran kota. Gerak-gerik yang mencurigakan bagi o-rang
baru yang belum diucapkan selamat datang.
Bus berhenti, kaki berdiri melangkah kembali. Ia bawa diri menuju
sebuah perumahan kecil di pinggir kota. Ia tetapkan rumah itu sebagai tempat
pemberhentiannya selama di tem-pat ini. Ia keluarkan semua isi tasnya, sebuah
jubah hitam dengan toga memenuhi isi tas yang hanya ada beberapa kemeja dan
celana. Membersihkan diri, lalu mengambil perlengkapan pe-rang. Kini ia siap
untuk bertempur melangkah menuju satu tujuan. Ia mengitari seluruh jagad
seperti ada yang ingin dicari. Setiap berhenti, siap senjata mengukir cerita di
buku yang selalu dibawanya. Semua kertas kosong di bukunya itu kini mulai ia
serakkan dengan kata-kata. En-tah bagaimana akhir dari cerita si musafir
kata-kata.
Tiap melangkah, seribu kata tercurah mencerahkan hatinya. Menapaki
jalanan kota, tampak ramai tak berpenghuni. Semua sibuk sendiri, berpacu dengan
dentang-denting jarum jam. Irama itu membangkitkan jalar cacing yang bertapa di
kepalanya. Geli menggelitik je-marinya untuk menuliskan sesuatu. Lalu ia
melangkah lagi hingga sampai di fatamorgana ko-ta. Semilir air coklat menghiasi
pinggiran kota dengan berbagai macam pernak-perniknya yang mengkilap saling
berpantulan dengan matahari. Rasa cengang menggeluti lelaki tua itu. Terduduk
lalu kemudian ia buka kembali lembaran-lembaran kosong di bukunya. Berkhayal-lah
dia dengan menyenderkan tubuh ke sebuah pohon besar di tepi sungai. Dalam diam,
na-larnya menari. Berimajinasi seiring terik matahari menukik di permukaan
tanah.
Sluuut.... Sebuah benda bundar membawanya kembali ke dunia nyata.
Ia tersadar bah-wa sedari tadi ia telah duduk sendiri. Menyatu dengan dunia
ilusi sehingga tak sadarkan diri bahwa sejak tadi sudah berdiri anak-anak yang
tengah bermain bola kaki.
“Kembalikan bolanya!”, ucap seorang bocah salah satu dari mereka.
Ia langsung berdiri membawa bola tersebut dan merebut satu gol di
gawang yang te-ngah menganga menunggu mangsa. Kemudian permainan dimulai.
Pemain baru memasuki lapangan permainan. Bermain dengan asyik melupakan segala
hal yang mengusik pikiran.
Senja telah berada di perbatasan hari. Keceriaan masih terpancar di
tiap gulingan bola. Satu permainan yang mendekap rasa. Hilang semua gundah
gulana yang menghampiri dunia setiap harinya. Kelihatannya permainan melupakan
segalanya. Ia baru ingat senjata perang-nya tergeletak sendiri di bawah pohon.
Tak mungkin rasanya untuk melupakan dua benda itu.
“Kek, besok kita main lagi ya!”, ujar salah satu bocah.
Dia hanya tersenyum, mangambil alat perangnya dan menghilang
bersama pergantian malam. Langkah itu terlihat semakin meyakinkan. Kembali ia
torehkan tinta di buku yang hampir terisi penuh dengan coretan. Senyumnya
mengumbar ide.
“Tinggal beberapa halaman lagi.” ujarnya
Pagi mengubah diri. Permainan kemarin kini menjadi pertemuan yang
berkelanjutan. Dengan baju kumal dan tanpa mengenakan sandal, mereka berlari
menuju bantalan sungai. Di sana telah menunggu si jubah hitam dengan buku dan
penanya. Permainan waktu mengubah hal baru. Satu perkumpulan yang haus
pengetahuan. Mereka mengangguk, mengacungkan ta-ngan, lalu berbicara. Si kakek
tua hanya tersenyum, bercerita, lalu menuliskan sesuatu. Ke-giatan yang silih
berganti, menjadi kreasi bagi si musafir tanpa kompas. Kini hidupnya disia-sati
oleh mimpi yang telah pasti. Kardus dibangun menjadi kotak otak. Kreasi silih
berganti menyulap kardus menjadi robot tak bernyawa. Kotak dibawa bersama
langkah kaki hingga mengganti baju kumal mereka menjadi bersih dan mengkilap.
Senyuman mereka semakin ter-pancar mengalahkan sinar mentari pagi. Kini ada
arti dari masa depan anak negeri.
“Ayah. Ternyata ayah masih hidup?”
Pertanyaan itu mengejutkan semuanya.
“Ayah, kau hilang di kota kami. Kau hidup di luar sini. Kenapa kau
lebih memilih di sini?”
“Aku hidup untuk ini. Aku mati di kampung halamanku dan bergentayangan
di setiap pelosok negeri.” Gumam lelaki tua sambil menyulam senyum.
“Ayah, kembalilah. Kampungmu juga membutuhkanmu.”
Apa hidup memang sebuah pilihan. Jika iya, mati adalah pilihan
terbaik. Lelaki tua hanya bisa terdiam. Menatap satu persatu tulisan yang telah
ia tuliskan di sepanjang jalan da-lam tiap langkah kakinya. Memang mengelilingi
jagad raya adalah pilihanku, tapi tujuan ak-hirnya adalah kampungku. Aku hidup
di negeri orang, aku mati di negeriku. Kemana toga yang selama ini kujaga untuk
kuhadiahkan pada mereka. Tulisan ini harus berakhir sampai di sini. Si musafir
tak berkompas kini menghentikan langkah kakinya yang lelah. Ia akhirnya pulang.
“Toga ini kuserahkan padamu si anak negeri.”
***
Kak, aku pake cerpennya buat dianalisis yaahhh.. makasih sbelumnya..
BalasHapus