TUGAS
SETTING
Mata Kuliah : Menulis Prosa Fiksi
Dosen Pengampu : Dr. Maizar Karim, M.Hum
Disusun
oleh:
Nama : Herti Gustina
NIM : A1B112005
Semester/Kelas : IV/A

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI

1.
Pertama-tama (dua halaman), uraikan keadaan kota tempat Anda dibesarkan-
jalanan, pertokoan, sekolah, rumah ibadah, sungai, jembatan, rel kereta api.
Jangan mengemukakan perasaan Anda, jangan bersikap sentimentil.
Lalu (setengah halaman), tunjukkan sebuah tempat
dalam sketsa di atas yang menjadi seting sebuah kejadian. Jelaskan kejadian itu
dengan memberikan perhatian khusus pada perincian fisik setingnya. Kejadian ini
tidak harus sebuah kejadian besar-cukuplah cerita ketika Anda memecahkan
jendela atau melihat guru yang Anda taksir mencium seorang polisi. Naguib
Mahfouz, pemenang hadiah Nobel dari Mesir, menulis sebuah novel, Midaq Alley,
yang menggambarkan kehidupan di sebuah jalanan kecil di Kairo.
Tujuan: Mengingatkan Anda pada barang berharga yang Anda miliki. Jika Anda
memiliki perasaan yang kuat tentang suatu tempat, akan mudah untuk bercerita
banyak tentang tempat itu. Biarkanlah tempat itu bercerita.
Periksalah: Apakah Anda sudah menggambarkan dengan jelas tempat berlangsungnya
kehidupan masa kecil Anda? Apakah Anda sudah cukup banyak menceritakan
perincian sehingga mampu menggambarkan sesuatu yang bisa dibayangkan? Apakah
Anda telah menggunakan indra lain selain mata? Bacalah pelan-pelan uraian yang
telah Anda tulis itu. Apakah Anda merasa berada di tempat itu? Jika Anda belum
cukup banyak menceritakan perincian, mungkin Anda memang belum berada di situ.
Cobalah terus sampai akhirnya Anda bisa menggambarkan berbagai benda yang Anda
lihat. Anda dapat mengubah latihan ini, mengurangi dan menyisipkan kata, sampai
Anda merasa telah membawa pembaca ke kota Anda itu.
Sapi dan Itik di Jalanan Pagi
Sebuah nuansa sepi jauh dari bising keramaian
menyibukkan halaman tatkala mentari telah menampakkan wajahnya. Sketsa nyata
gambaran semesta tersinari oleh cahaya mentari yang menyibak pagi. Semua
tertata rapi, asri di mata penghuni. Bukan matahari yang menyibukkan diri, tapi
pagi yang berpenghuni. Semua jelas terlihat di mata pagi.
Sebuah tembok putih mengotaki setiap ruang di rumah
kontrakan kecil. Mengurung setiap isi perabotan rumah. Terlihat sempit dan
menyesakkan dada. Hawa bertabrakan di setiap sudut rumah hingga paru-paru
berlompatan mencari awan segar. Ruang berbaris, bersusun tiga rumah. Namun
lebih tampak seperti tiga kotak putih si pesulap jenaka. Kecil namun
abrakadabra berisi benda luar biasa.
Di luar, buluh berbaris mengelilingi setiap sudut
rumah. Berjajar rapi seperti barisan indah. Pojoknya dipasangkan pasak kayu
jati. Berpaku tiga senti dengan ujung lancip di setiap keping buluh. Suram tak
berwarna, namun dedaunan bunga berjajar hijau mempesona. Tak seberapa yang
berbunga. Daun hijau mengelopak memberi tempat untuk embun pagi bersandar
sejenak lalu pergi. Suguhan pagi berbau surgawi. Sejuk menggugah nurani.
Sementara pohon jambu menjulang di sekitaran atap
rumah. Kuncup jambu kecil cukup nyaring bermusik mengusik kesunyian. Bergantian
memutar irama di atap rumah yang coklat berkarat. Benang sarinya menyalju kala
angin mengipas kemulai indah di putik jambu. Di sekitaran pohon, salju benang
sari jambu berkumpul menyelimuti tanah. Berlapis-lapis saling menimbun. Tinggal
sentuhan terakhir membuat boneka salju dari benang sari atau bermain
rumah-rumahan dengan benang sari jambu.
Tepat di depan pintu tampak berjejer ruangan dengan
satu pintu di masing-masing ruangannya. Jendela putih ikut berjejer empat
deretan di setiap ruangnya dengan layar biru yang menutupi setengah bagian kaca
jendela. Halaman di depannya tampak ditutupi oleh permadani rumput hijau yang
melumut hingga ke teras bangunan. Pagi yang indah untuk barisan anak sekolah
mengangkat tangan, mengadahkan kepala di rimbaan sang saka merah putih. Semua
tampak berseri, senyum menari menyambut pagi. Menyibukkan diri memeriahkan
hari-hari.
Di jalanan yang sepi mulai tampak dipenuhi kendaraan
yang berpacu mengejar situasi. Alunan tenang knalpot kendaraan silih berganti
bersahutan. Jalanan lebar kini mulai disusuri oleh kendaraan penghuni jalan.
Hingga matahari mulai menyambut waktu dhuha, suara kendaraan perlahan mulai
sepi bermunculan. Semua telah terparkir di tempat tujuan. Tinggal berjalan
melakukan kegiatan. Namun ada kotoran si pemakai jalan, yang paginya telah
bergerombolan melewati jalan menuju padang makanan. Si coklat gemuk lupa
membereskan kotorannya hingga menyisakan seonggok hitam perusak jalan.
Bergantian
dengan itu, si lenggak-lenggok aduhai lebih pagi mencicipi jalanan sepi.
Berbaris rapi menyusuri sawah pak tani. Menyemarakkan suara pagi. Bising namun
indah menggoda mimpi bangun menuju kamar mandi. Lalu gosok gigi dan
bersiap-siap pergi. Semua silih berganti mengisi hari pagi. Hingga siang
menjelang sepi menghampiri jalanan panjang depan rumah.
Makan tak bernasi tak mungkin ada petani. Semua
lebih semangat dibandingkan sapi ataupun itik-itik. Berjalan menuju sawah dan
ladang untuk siapkan pangan agar bisa dimakan. Berleha-leha ibu-ibu menyulam
senyum membawa topi capingnya. Dan bapak-bapak siap dengan cangkul yang ia
pikul di bahu sebelah kirinya. Tentu saja mereka bukan kaum berdasi, tapi si
penyiap nasi.
Masjid bersih memantulkan sinar suci sang Ilahi.
Pagi berisi, siang sepi. Matahari meninggi berbunyi lagi. Lalu panggilan
menyambut diri untuk kembali pada Ilahi. Setelah itu hilang lagi lalu pergi. Sore
menjelang datang bersujud diri. Hingga Maghrib memanggil jamaah beramai
memenuhi ruang Ilahi. Bermunajat menyanyikan dzikir dan shalawat hingga yasin
mengizinkan mereka untuk selalu mendekatkan diri padaNya. Hingga shalat malam
lalu pergi pulang. Begitulah daur waktu masjid dan surau kami.
Di petang yang kerontang setelah dijemur pada terik
matahari siang. Jalanan yang biasanya indah kini dikotori oleh onggokan tak
berestetika. Semua berkat si rakus coklat yang kekenyangan lalu lupa dimana
kamar kecil. Tak begitu juga bagi mereka yang tak punya otak cerdas. Mereka
tidak mungkin tau dimana kamar kecil. Merekapun tak tahu cara membereskan
kotoran mereka. Hanya bisa meninggalkan lalu pergi. Terpaksa jalanan menjadi
korban. Tapi mereka bukankah binatang yang tak tau jalan pulang apalagi jalan
menuju kamar belakang.
Lebih berestetika para itik. Berbaris rapi, indah
gemulai membawa diri. Anggun seperti sang putri. Menyusuri jalan lalu pergi.
Pemandangan indah selalu dibawa tiap pagi. Jaga wibawa, angkat kepala, dan
saling menjaga. Mereka bersama pasukan berjalan sopan di depan tuannya.
Sesekali merubah posisi, mengatur formasi di barisan yang berjajar rapi. Maju
jalan langkah kiri kanan selalu diserasikan. Sesekali berbunyi layaknya
terompet aba-aba yang mengatur barisan mereka.
Dua kelompok dengan dua cara yang berbeda. Semua
bisa menilai. Indah tak terangkai. Buruk membuat terpuruk. Satu dengan
kebesaran yang tak bertata krama. Satunya lagi kecil namun menggelitik dalam
nilai estetik. Tapi mereka tetap sama jenisnya. Binatang yang menumpang jalan.
Yang menyemarakkan hari petang di kampung halaman.
***
7.
Satu halaman. Gambarkan seting cerita tentang manusia lawan alam. Gunakan
gunung yang pernah Anda daki, atau sungai yang pernah Anda arungi, atau lautan
yang pernah Anda layari. Ceritakan binatang, tumbuhan, cuaca, tetapi jangan
ceritakan diri Anda (nanti bisa menjadi subjektif). Tunjukkanlah hal-hal yang
Anda lihat, setepat dan seobjektif mungkin. Tunjukkan alam dan bahayanya.
Tujuan: Belajar menceritakan pemandangan alam secara
dramatis, secara jujur.
Periksalah: Apakah pembaca dapat merasakan adanya bahaya setelah membaca uraian
itu? Hapuslah kata sifat (Seperti menakutkan) dan ubahlah metafora
menjadi gambaran yang nyata. (Alih-alih menggunakan “Setiap alunan ombak
seperti naga yang mulutnya berbusa-busa,” coba gambarkan seperti “Ombak yang
memuncak tinggi itu menumpahkan busanya di atas kepala kami.”) Apabila luapan
kejiwaan kata sifat dan metafora yang emosional telah dikeluarkan dari dalam
cerita, dan kami masih bisa merasakan suasana menakutkan itu, berarti Anda
telah menguraikannya dengan baik sekali. Kelak jika Anda memutuskan untuk
melanjutkan cerita itu Anda bisa mengubahnya menjadi gambaran metafora dan
gambaran halusinasi tentang keadaan yang menakutkan.
Hidup Darinya
Awan menyelimuti sebagian tubuh gunung berapi.
Tinggi memuncak namun tak terlihat ketika embun pagi menutupi separuh bagian
tubuhnya. Di bawah, hijau tampak memenuhi bagian tubuh gunung. Akantetapi
seperempat bagian atas, gersang tak ditumbuhi tumbuhan hijau. Datarnya menanjak
menuju puncak langit. Terjalnya hampir
1800 memanjat langit.
Egois tanah menumpuk membentuk gunung yang memuncak
setinggi langit. Terlihat dari jauh indah bagai mahkota raja di bumi tercinta.
Namun saat langkah menapaki sepenggal tanah pegunungan. Dingin merembes di
balutan baju tebal yang menyelimuti tubuh. Belukar menyemak, suram bagai tanah
perkuburan hidup. Warna hijau hampir merata di seluruh perjalanan menuju puncak
mahkota. Semua terlihat nyata, tapi tak berbentuk seperti semula.
Di tengah, tubuh tersungkur dikelilingi pohon-pohon
yang menjulang tinggi saling berebut cahaya matahari. Semua menghilangkan
pemandangan indah yang sekejap pernah dilihat di depan gunung. Seisi hutan
menyemarakkan suara dengungan yang mencekam seiring perjalanan menuju arah
tujuan. Akar-akar melintang bersaling-silang memenuhi permukaan tanah. Suhu
berbaur dengan fotosintesis dedaunan hijau. Hingga setengah bagian, suasana
masih tetap sama.
Semakin puncak mendekat, semakin tampak cahaya yang
selalu berbenah menyinari setiap pagi dan siang hari. Hingga batas neraka
belukar suasana menjadi sedikit berbeda. Indah terasa di pelupuk mata. Semesta
tampak ada di bawah telapak kaki gunung berapi. Puncak yang tertutupi awan
mulai menyerah dan membukakan cadarnya. Estetika semesta terlihat membentang
luas di dataran subur penuh pepohonan. Andai belukar itu tak ada. Pastinya tak
akan ada kenikmatan ini.
Belukar tampak mencekam mencabik-cabik tanah hutan.
Namun dialah pahlawan yang menjaga kawan-kawan alam. Semua harus tunduk
padanya. Tak ada alasan untuk tidak berbalas cinta dengannya. Semua keindahan
berawal dariNya. Jika air membanjiri kota, maka itu pertanda dia telah tiada.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar