Minggu, 22 Maret 2015

Setting



TUGAS
SETTING

Mata Kuliah              : Menulis Prosa Fiksi
Dosen Pengampu      : Dr. Maizar Karim, M.Hum

Disusun oleh:
Nama                           : Herti Gustina
NIM                            : A1B112005
Semester/Kelas            : IV/A


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2014



1.      Pertama-tama (dua halaman), uraikan keadaan kota tempat Anda dibesarkan- jalanan, pertokoan, sekolah, rumah ibadah, sungai, jembatan, rel kereta api. Jangan mengemukakan perasaan Anda, jangan bersikap sentimentil.
Lalu (setengah halaman), tunjukkan sebuah tempat dalam sketsa di atas yang menjadi seting sebuah kejadian. Jelaskan kejadian itu dengan memberikan perhatian khusus pada perincian fisik setingnya. Kejadian ini tidak harus sebuah kejadian besar-cukuplah cerita ketika Anda memecahkan jendela atau melihat guru yang Anda taksir mencium seorang polisi. Naguib Mahfouz, pemenang hadiah Nobel dari Mesir, menulis sebuah novel, Midaq Alley, yang menggambarkan kehidupan di sebuah jalanan kecil di Kairo.
Tujuan: Mengingatkan Anda pada barang berharga yang Anda miliki. Jika Anda memiliki perasaan yang kuat tentang suatu tempat, akan mudah untuk bercerita banyak tentang tempat itu. Biarkanlah tempat itu bercerita.
Periksalah: Apakah Anda sudah menggambarkan dengan jelas tempat berlangsungnya kehidupan masa kecil Anda? Apakah Anda sudah cukup banyak menceritakan perincian sehingga mampu menggambarkan sesuatu yang bisa dibayangkan? Apakah Anda telah menggunakan indra lain selain mata? Bacalah pelan-pelan uraian yang telah Anda tulis itu. Apakah Anda merasa berada di tempat itu? Jika Anda belum cukup banyak menceritakan perincian, mungkin Anda memang belum berada di situ. Cobalah terus sampai akhirnya Anda bisa menggambarkan berbagai benda yang Anda lihat. Anda dapat mengubah latihan ini, mengurangi dan menyisipkan kata, sampai Anda merasa telah membawa pembaca ke kota Anda itu.

Sapi dan Itik di Jalanan Pagi
Sebuah nuansa sepi jauh dari bising keramaian menyibukkan halaman tatkala mentari telah menampakkan wajahnya. Sketsa nyata gambaran semesta tersinari oleh cahaya mentari yang menyibak pagi. Semua tertata rapi, asri di mata penghuni. Bukan matahari yang menyibukkan diri, tapi pagi yang berpenghuni. Semua jelas terlihat di mata pagi.
Sebuah tembok putih mengotaki setiap ruang di rumah kontrakan kecil. Mengurung setiap isi perabotan rumah. Terlihat sempit dan menyesakkan dada. Hawa bertabrakan di setiap sudut rumah hingga paru-paru berlompatan mencari awan segar. Ruang berbaris, bersusun tiga rumah. Namun lebih tampak seperti tiga kotak putih si pesulap jenaka. Kecil namun abrakadabra berisi benda luar biasa.
Di luar, buluh berbaris mengelilingi setiap sudut rumah. Berjajar rapi seperti barisan indah. Pojoknya dipasangkan pasak kayu jati. Berpaku tiga senti dengan ujung lancip di setiap keping buluh. Suram tak berwarna, namun dedaunan bunga berjajar hijau mempesona. Tak seberapa yang berbunga. Daun hijau mengelopak memberi tempat untuk embun pagi bersandar sejenak lalu pergi. Suguhan pagi berbau surgawi. Sejuk menggugah nurani.
Sementara pohon jambu menjulang di sekitaran atap rumah. Kuncup jambu kecil cukup nyaring bermusik mengusik kesunyian. Bergantian memutar irama di atap rumah yang coklat berkarat. Benang sarinya menyalju kala angin mengipas kemulai indah di putik jambu. Di sekitaran pohon, salju benang sari jambu berkumpul menyelimuti tanah. Berlapis-lapis saling menimbun. Tinggal sentuhan terakhir membuat boneka salju dari benang sari atau bermain rumah-rumahan dengan benang sari jambu.
Tepat di depan pintu tampak berjejer ruangan dengan satu pintu di masing-masing ruangannya. Jendela putih ikut berjejer empat deretan di setiap ruangnya dengan layar biru yang menutupi setengah bagian kaca jendela. Halaman di depannya tampak ditutupi oleh permadani rumput hijau yang melumut hingga ke teras bangunan. Pagi yang indah untuk barisan anak sekolah mengangkat tangan, mengadahkan kepala di rimbaan sang saka merah putih. Semua tampak berseri, senyum menari menyambut pagi. Menyibukkan diri memeriahkan hari-hari.
Di jalanan yang sepi mulai tampak dipenuhi kendaraan yang berpacu mengejar situasi. Alunan tenang knalpot kendaraan silih berganti bersahutan. Jalanan lebar kini mulai disusuri oleh kendaraan penghuni jalan. Hingga matahari mulai menyambut waktu dhuha, suara kendaraan perlahan mulai sepi bermunculan. Semua telah terparkir di tempat tujuan. Tinggal berjalan melakukan kegiatan. Namun ada kotoran si pemakai jalan, yang paginya telah bergerombolan melewati jalan menuju padang makanan. Si coklat gemuk lupa membereskan kotorannya hingga menyisakan seonggok hitam perusak jalan.
 Bergantian dengan itu, si lenggak-lenggok aduhai lebih pagi mencicipi jalanan sepi. Berbaris rapi menyusuri sawah pak tani. Menyemarakkan suara pagi. Bising namun indah menggoda mimpi bangun menuju kamar mandi. Lalu gosok gigi dan bersiap-siap pergi. Semua silih berganti mengisi hari pagi. Hingga siang menjelang sepi menghampiri jalanan panjang depan rumah.
Makan tak bernasi tak mungkin ada petani. Semua lebih semangat dibandingkan sapi ataupun itik-itik. Berjalan menuju sawah dan ladang untuk siapkan pangan agar bisa dimakan. Berleha-leha ibu-ibu menyulam senyum membawa topi capingnya. Dan bapak-bapak siap dengan cangkul yang ia pikul di bahu sebelah kirinya. Tentu saja mereka bukan kaum berdasi, tapi si penyiap nasi.
Masjid bersih memantulkan sinar suci sang Ilahi. Pagi berisi, siang sepi. Matahari meninggi berbunyi lagi. Lalu panggilan menyambut diri untuk kembali pada Ilahi. Setelah itu hilang lagi lalu pergi. Sore menjelang datang bersujud diri. Hingga Maghrib memanggil jamaah beramai memenuhi ruang Ilahi. Bermunajat menyanyikan dzikir dan shalawat hingga yasin mengizinkan mereka untuk selalu mendekatkan diri padaNya. Hingga shalat malam lalu pergi pulang. Begitulah daur waktu masjid dan surau kami.
Di petang yang kerontang setelah dijemur pada terik matahari siang. Jalanan yang biasanya indah kini dikotori oleh onggokan tak berestetika. Semua berkat si rakus coklat yang kekenyangan lalu lupa dimana kamar kecil. Tak begitu juga bagi mereka yang tak punya otak cerdas. Mereka tidak mungkin tau dimana kamar kecil. Merekapun tak tahu cara membereskan kotoran mereka. Hanya bisa meninggalkan lalu pergi. Terpaksa jalanan menjadi korban. Tapi mereka bukankah binatang yang tak tau jalan pulang apalagi jalan menuju kamar belakang.
Lebih berestetika para itik. Berbaris rapi, indah gemulai membawa diri. Anggun seperti sang putri. Menyusuri jalan lalu pergi. Pemandangan indah selalu dibawa tiap pagi. Jaga wibawa, angkat kepala, dan saling menjaga. Mereka bersama pasukan berjalan sopan di depan tuannya. Sesekali merubah posisi, mengatur formasi di barisan yang berjajar rapi. Maju jalan langkah kiri kanan selalu diserasikan. Sesekali berbunyi layaknya terompet aba-aba yang mengatur barisan mereka.
Dua kelompok dengan dua cara yang berbeda. Semua bisa menilai. Indah tak terangkai. Buruk membuat terpuruk. Satu dengan kebesaran yang tak bertata krama. Satunya lagi kecil namun menggelitik dalam nilai estetik. Tapi mereka tetap sama jenisnya. Binatang yang menumpang jalan. Yang menyemarakkan hari petang di kampung halaman.
***

7.      Satu halaman. Gambarkan seting cerita tentang manusia lawan alam. Gunakan gunung yang pernah Anda daki, atau sungai yang pernah Anda arungi, atau lautan yang pernah Anda layari. Ceritakan binatang, tumbuhan, cuaca, tetapi jangan ceritakan diri Anda (nanti bisa menjadi subjektif). Tunjukkanlah hal-hal yang Anda lihat, setepat dan seobjektif mungkin. Tunjukkan alam dan bahayanya.
Tujuan: Belajar menceritakan pemandangan alam secara dramatis, secara jujur.
Periksalah: Apakah pembaca dapat merasakan adanya bahaya setelah membaca uraian itu? Hapuslah kata sifat (Seperti menakutkan) dan ubahlah metafora menjadi gambaran yang nyata. (Alih-alih menggunakan “Setiap alunan ombak seperti naga yang mulutnya berbusa-busa,” coba gambarkan seperti “Ombak yang memuncak tinggi itu menumpahkan busanya di atas kepala kami.”) Apabila luapan kejiwaan kata sifat dan metafora yang emosional telah dikeluarkan dari dalam cerita, dan kami masih bisa merasakan suasana menakutkan itu, berarti Anda telah menguraikannya dengan baik sekali. Kelak jika Anda memutuskan untuk melanjutkan cerita itu Anda bisa mengubahnya menjadi gambaran metafora dan gambaran halusinasi tentang keadaan yang menakutkan.

Hidup Darinya
Awan menyelimuti sebagian tubuh gunung berapi. Tinggi memuncak namun tak terlihat ketika embun pagi menutupi separuh bagian tubuhnya. Di bawah, hijau tampak memenuhi bagian tubuh gunung. Akantetapi seperempat bagian atas, gersang tak ditumbuhi tumbuhan hijau. Datarnya menanjak menuju puncak langit.  Terjalnya hampir 1800 memanjat langit.
Egois tanah menumpuk membentuk gunung yang memuncak setinggi langit. Terlihat dari jauh indah bagai mahkota raja di bumi tercinta. Namun saat langkah menapaki sepenggal tanah pegunungan. Dingin merembes di balutan baju tebal yang menyelimuti tubuh. Belukar menyemak, suram bagai tanah perkuburan hidup. Warna hijau hampir merata di seluruh perjalanan menuju puncak mahkota. Semua terlihat nyata, tapi tak berbentuk seperti semula.
Di tengah, tubuh tersungkur dikelilingi pohon-pohon yang menjulang tinggi saling berebut cahaya matahari. Semua menghilangkan pemandangan indah yang sekejap pernah dilihat di depan gunung. Seisi hutan menyemarakkan suara dengungan yang mencekam seiring perjalanan menuju arah tujuan. Akar-akar melintang bersaling-silang memenuhi permukaan tanah. Suhu berbaur dengan fotosintesis dedaunan hijau. Hingga setengah bagian, suasana masih tetap sama.
Semakin puncak mendekat, semakin tampak cahaya yang selalu berbenah menyinari setiap pagi dan siang hari. Hingga batas neraka belukar suasana menjadi sedikit berbeda. Indah terasa di pelupuk mata. Semesta tampak ada di bawah telapak kaki gunung berapi. Puncak yang tertutupi awan mulai menyerah dan membukakan cadarnya. Estetika semesta terlihat membentang luas di dataran subur penuh pepohonan. Andai belukar itu tak ada. Pastinya tak akan ada kenikmatan ini.
Belukar tampak mencekam mencabik-cabik tanah hutan. Namun dialah pahlawan yang menjaga kawan-kawan alam. Semua harus tunduk padanya. Tak ada alasan untuk tidak berbalas cinta dengannya. Semua keindahan berawal dariNya. Jika air membanjiri kota, maka itu pertanda dia telah tiada.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar