Minggu, 22 Maret 2015

Cerpen Terinspirasi dari Cerita Rakyat



TUGAS
CERPEN TERINSPIRASI DARI CERITA RAKYAT

Mata Kuliah              : Menulis Prosa Fiksi
Dosen Pengampu      : Dr. Maizar Karim, M.Hum

Disusun oleh:
Nama                           : Herti Gustina
NIM                            : A1B112005
Semester/Kelas            : IV/A


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2014


7 MELATI
Di teras rumah berlapis keramik lantai mengkilap, cahaya saling silang memantulkan sinar matahari. Gambaran langit tampak di bawah injakan kakiku. Semua tergambar jelas di bolak-balik oleh kaca semesta. Halaman berseri, kupu-kupu menari mengitari bunga melati. Burung-burung saling berkejar-kejaran curi pandang dengan para kumbang. Semua terlihat harmonis, romantis dan penuh dengan nilai estetis.
“Kakak, aku punya cerita.”
Suasana ini selalu kunanti. Saat 7 bersaudara berkumpul ceria di depan orang tuanya. Menampakkan manis mukanya. Memasang lesung pipi. Merengek memanja sambil tertawa bahagia. Semuanya cantik-cantik. Bagaimana tidak, ketujuh anaknya itu adalah perempuan. Tak disangka semuanya akrab, padahal harus menghadapi 7 sikap canggih seorang wanita. Tapi inilah kehebatan dua orang penonton itu, dapat merubah alur cerita menjadi apa yang ia suka. Kemudi mereka pacu dengan sangat lihai, sehingga arah tak berani melawan.
“Kak, orang tuaku hebatkan?”
Tapi ini ceritaku. Liburan menjadi hadiah istimewa bagi 7 bersaudara ini. Cuma menghabiskan hari-hari di rumah rasanya tidak cukup membosankan. Bergulat bersama cerita kakak itu akan menambah koleksi ceritaku. Diary pun tak akan sanggup mendengarkan ocehan dari ketujuh tinta. Rasanya tak cukup sehari. Butuh banyak waktu untuk meresume ketujuh sinopsis cerita menjadi rangkaian kata singkat yang 7 in 1.
7 in 1, apa ini bagus untuk judul ceritaku Kak?”
Satu masa mengurangi cerita. Balutan bahagia menambah kebahagian. Semua suram menjadi temaram. Apa masa akan menjawab segala tanya? Ceritaku berkurang satu. Namun ini kebahagiaan yang menyedihkan. Saat aku harus melepas kakak pada satu diary yang harus diisi. Semua menyambut kepergianmu dengan bahagia. Tapi apakah kebahagiaan itu nyata bagiku? Aku rasa tidak. Kakak harus menciptakan cerita baru bersama satu diary baru yang akan Kakak isi bersama dengan lain cerita. Itu berarti judul itu tak cocok untuk ceritaku.
“Aku menyambut bahagia ceritamu dahulu. Tapi cerita itu tentang diary baru.”
Dengan 6 orang rasanya tidak apa-apa. Masih ada banyak cerita yang bisa mengubah dunia. Masih di tempat yang sama, namun aku harus duduk tepat sejajar dengan mereka karena jumlah genap berharap demikian. Sambung cerita tanpa dia. Hilang satu tapi tidak tumbuh seribu. Mungkin rumusnya perlu dipakai, tujuh kurang satu apa mungkin seribu? Aku fokuskan pada enam cerita untuk kupendam dalam diary kisah kita. Semua tampak masih asri berseri.
Kembali pada cerita. Memang susah hidup dengan para wanita. Sambil menunggu antri, mereka bercerita. Sampai pada giliran, hilang cerita. Aku masih menyimak cerita kakak. Semua tengah asyik mengisahkan ceritanya. Kucatat tanpa cacat semua yang ada dalam komat-kamit mulutnya ke dalam sebuah diary biruku. Semesta kugambar pada langit di diary biruku. Semua tentang mereka.
“Sekarang jam 6 kurang 1, Kak.”
Tak disangka sekarang giliran kedua, mungkin enam akan dikurang satu. Rumus silih berganti harus berperan. Tinggal lima yang masih menunggu giliran. Mukaku lalu mengkerut menahan kelopak mata yang semakin berat diisi oleh air mata. Egois membuatku menderita dalam suasana bahagia. Kakak telah menemukan diarynya. Berkuranglah tinta cerita yang akan mengisi diaryku. “Oh Tuhan... kebahagiaan ini menyiksaku.”
“Kak, ternyata satu isyarat menandakan akan datangnya hujan.”
Semua masih asyik bercengkrama di teras depan rumah. Sambil menghitung jemari, mendengar detak-detik denting jam. Ayah ibu semakin menua. Menunggu semua terlepas dari rangkulan mereka. Antrian mengikut semesta. Yang tua, yang bermula. Sekali lagi satu cerita menjemput diarynya. Aku kehilangan satu cerita lagi di hari bahagianya. Mungkin hanya aku yang tak berbahagia. Angka semakin sepi. Ruangan semakin melebar. Hanya tinggal 3 orang yang masih menunggu giliran.
Semua rumit. Kurasa sangat sulit menulis dengan hanya dengan 3 tinta. Tak akan sanggup kuisi diaryku ini. Mereka masih bercerita namun temanya tentang diary yang akan mereka jemput sebentar lagi. Akan sulit untuk kutampung air mata ini. Ketika satu cerita kemudian telah dijemput oleh diarynya. Belum dapat diprediksi yang akan terjadi nanti saat semua cerita akan pergi. Aku sendiri tidak tahu apakah tinta penaku masih cukup untuk penuhi diary ini.
Tinggal kita berdua. Apa yang akan kita ceritakan nantinya. Sekelumit cerita tentang mereka yang tengah menonton cerita kita. Menunggu kapan kita akan lepas dari rangkulan mereka dan kapan mereka akan dijemput. Mereka masih berharap kebahagiaan kita. Kebahagiaan yang berarti akan menyisakan kesedihan di antara kita. “Tapi, sebentar. Kenapa Kakak begitu rapi dan cantik?”
Gaun putih menyelimuti tubuhmu yang anggun. Senyummu tampak memendam kecemasan. “Apa yang akan terjadi padamu?” kau terus bersolek di depan kaca bening yang dihiasi bunga-bunga. Kau tampak menunggu seseorang. Apa? Menunggu seseorang?
“A...apakah itu berarti kau juga akan dijemput diarymu, Kak?”
Kenyataan menampar wajah ceriaku. Air yang membendung di mata tak sanggup lagi untuk menahan banjir yang terus mengalir di pipiku. Kebahagiaanmu derita bagi hari sepiku. Aku tak tahu bagaimana akan meneruskan cerita ini tanpamu. Kurasa cerita ini harus kuakhiri sampai di sini. Kutinggalkan diary biru di teras rumah yang telah kusam ditinggal tuannya.
Kesepian membuatku harus berhenti untuk menggoreskan tinta. Kuputuskan untuk bertemankan burung-burung, namun burung-burung enggan untuk mendekat. Akhirnya kuputuskan untuk membuat taman yang nantinya akan ditumbuhi 7 kembang melati sebagai tontonan ayah dan ibu. Di kesendirian kutanam, kurawat, dan kujaga tumbuhnya melati berharap ia akan hadirkan 7 cerita tetangku yang kesepian. Kusirami dengan air mata perpisahan.
Akhir ceritaku disudahi oleh 7 melati di taman sepi yang kutanam bersama 6 burung merpati. “Apa kabar diarymu, Kak?”
***

Terinspirasi oleh cerita rakyat dari daerah Hiang Tinggi, Kerinci tentang “Puti Dayang Indah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar