Minggu, 22 Maret 2015

Relasi Makna



RELASI MAKNA

RESUME
Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Semantik
Semester IV, Kelas A
Dosen Pengampu Drs. Andiopenta, M.Hum. M. DIV

Oleh
Kelompok V
Herti Gustina A1B112005
Masri Simbolon A1B112017
Winda Sari A1B112023
Meri Asparina A1B112031
Shinta Maryani A1B112035




PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2014



MATERI AJAR V
RELASI MAKNA
5.1  Sinonimi
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya. Satuan bahasa tersebut dapat berupa kata, frasa, maupun kalimat dan relasi semantik. Berdasarkan sifatnya, relasi makna meliputi: menyatakan kesa-maan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (polisemi/poly-semy/multiple meaning), kegandaan makna (ambigu/ketaksaan), atau kata yang berhomonimi dengan kata lain, dan juga terdapat homograf dan homofon (homonim/homonym), serta majas metafor (metaphor).
Secara harfiah, kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama. Ver-haar secara semantik mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frasa, a-tau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Verhaar, 1981).
A.    Jenis Sinonimi menurut Colliman
1)      Sinonimi yang salah satu anggotanya memiliki makna lebih umum,
2)      Sinonimi yang salah satu anggota memiliki unsur makna yang lebih intensif,
3)      Sinonimi yang salah satu anggotanya lebih menonjolkan makna emotif,
4)      Sinonimi yang salah satu anggotanya bersifat mencela atau tidak membenarkan,
5)      Sinonimi yang salah satu anggotanya menjadi istilah bidang tertentu,
6)      Sinonimi yang salah satu anggotanya lebih banyak dipakai di dalam bahasa perca-kapan,
7)      Sinonimi yang salah satu anggotanya dipakai dalam bahasa kanak-kanak,
8)      Sinonimi yang salah satu anggotanya biasa dipakai di daerah tertentu saja.
B.     Jenis Sinonimi menurut Verhaar
1)      Sinonimi yang salah satu anggotanya berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing dan yang lainnya terdapat di dalam bahasa umum,
2)      Sinonimi yang pemakainnya bergantung kepada langgam dan laras bahasa,
3)      Sinonimi yang berbeda makna emotifnya, tetapi makna kognitifnya sama,
4)      Sinonimi yang pemakaianya terbatas pada kata tertentu,
5)      Sinonimi yang maknanya kadang-kadang tumpang tindih.
C.     Jenis Sinonimi menurut Verhaar
1)      Sinonimi antar kalimat, contoh: Ali melihat Ahmad dan Ahmad melihat Ali.
2)      Sinonimi antar frasa, contoh : Rumah bagus itu dan rumah yang bagus itu.
3)      Sinonimi antar kata, contoh : nasib dengan takdir, meninggal dengan mati.
4)      Sinonimi antar morfem, contoh : itu bukuku. Itu buku saya.
Selain itu, Chaer menambahkan satu lagi jenis sinonimi yaitu sinonimi antar kata de-ngan frasa atau sebaliknya. Contoh meninggal dengan tutup usia, hamil dengan duduk perut, dan sebagainya. Yang harus diingat dalam sinonimi adalah dua buah kata yang bersinonimi tidak memiliki makna yang persis sama menurut Verhaar yang sama adalah informasinya. Hal ini sesuai dengan prinsip semantik yang mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Kata mati dan meninggal  memiliki bentuk yang berbeda, jadi mati tidak memilik makna yang sama persis dengan me-ninggal.
Selain karena perbedaan bentuk, ada beberapa faktor yang menyebabkan kata-kata yang bersinonimi tidak selalu dapat saling menggantikan yaitu:
1)      Faktor waktu yang berbeda
2)      Faktor tempat atau daerah yang berbeda
3)      Faktor sosial
4)      Faktor bidang kegiatan
5)      Faktor nuansa makna
Ada beberapa hal yang perlu diingat sehubungan dengan sinonimi yaitu:
1)      Tidak semua kata bahasa Indonesia mempunyai sinonimi.
2)      Ada kata-kata yang bersinonimi pada bentuk dasar, tetapi tidak pada bentuk jadian.
5.2  Antonim (Antonym)
Antonim ialah leksem yang berpasangan secara antonimi (Kridalaksana,1984:13). Menurut Verhaar antonym ialah ungkapan (biasanya kata, tetapi bisa frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.
Menurut Verhaar antonym berdasarkan sistemnya antara lain:
1)      Antonim antar kalimat
2)      Antonim antar frase
3)      Antonim antar kata
4)      Antonim antar Morfem
Antonim sering disebut dengan istilah oposisi makna. Kridaklasana (1984:135) me-nyatakan bahwa oposisi adalah hubungan antara dua unsur atau lebih dalam sistem yang me-nampakkan perbedaan.

Beberapa jenis oposisi seperti di bawah ini:
1)      Oposisi Mutlak
Kata-kata yang memiliki pertentangan (berlawanan) makna secara mutlak termasuk dalam jenis ini. Misalnya, hidu dengan mati. Orang yang hidup sudah pasti tidak mati sedangkan orang yang mati pasti tidak mati.
2)      Oposisi Kutub
Ada kata-kata yang pertentangan makna (sama dengan oposisi atau antonim) tidak mutlak, tetapi berjenjang/bertingkat. Contoh kaya denga miskin. Kaya dengan miskin tidak memiliki pertentangan yang mutlak. Orang yang kaya kadangkala masih merasa miskin, se-baliknya orang yang miskin mungkin ada yang merasa tidak miskin.
3)      Oposisi Hubungan
Oposisi hubungan ditujukan untuk kata-kata yang saling berhubungan. Kehadiran sua-tu kata megakibatkan kehadiran kata yang lain, contoh, kata penjual ada karena adanya pem-beli. Kata-kata tersebut timbul dan saling melengkapi. Kata-kata yang beroposisi hubungan i-ni dapat berupa kata kerja dan kata benda.
4)      Oposisi Hierarkial
Kata hierarki menurut Kridalaksana (1984:65) adalah pengaturan secara beurutan un-sur-unsur bahasa mulai dari yang terkecil (terendah) sampai yang terbesar (tertinggi). Kata-kata yang beroposisi hierarkial adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, pan-jang dan isi), nama satuan hitungan, penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagai-nya.
5)      Oposisi Majemuk
Ada kata-kata yang tidak hanya beroposisi dengan satu kata saja, melainkan dengan dua buah kata atau lebih. Contoh, kata ramah dapat beroposisi dengan jdes, galak, bengis, dan kejam. Yang harus diingat ialah tidak semua kata memiliki antonym atau oposisi. Karena itu, tidak ada antonym dari sepeda, becak, bemo dan bajaj.

5.3  Homonimi, Homofon, Homograf
5.3.1        Homonimi
Secara semantik, Verhaar mendefenisikan homonomi sebagai ungkapan (kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan suatu ungkapan lain, tetapi berbeda makna. Ho-monimi menurut Verhaar terdiri atas empat jenis:
1.      Homonimi antar kalimat, contoh istri kolonel yang nakal itu cantik (yang bermakna bah-wa yang nakal adalah kolonelnya dengan istri kolonel yang nakal itu cantik (dengan makna yang nakal adalah istri).
2.      Homonimi antar frase, contoh frase cinta anak dapat megandung dua makna yang berbe-da, yaitu cinta pada anak atau cinta pada anak atau cinta sang anak.
3.      Homonimi antar kata, contoh: mengukur (dari kukur) dan mengukur (dari ukur).
4.      Homonimi antar morfem, contoh: itu bukunya (buku dia). Nah, ini dia bukunya (buku tertentu itu).
Kata-kata yang berhomonimi dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu:
(a)    Homonim yang Homograf adalah homonim yang sama ejaannya/tulisannya tetapi ber-beda ucapannya.
(b)   Homonim yang Homofon adalah homonim yang ucapannya sama, tetapi berbeda ejaan-nya.
(c)    Homonim yang Homograf dan Homofon, yaitu homonim yang ejaan dan ucapannya sa-ma, tetapi maknanya berbeda.
Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Contohnya kata bisa yang berarti racun berasal dari bahasa Melayu, sedangkan bi-sa yang berarti mampu berarti bahasa Jawa. (alah bisa karena biasa dari bahasa Jawa. Dalam Kamus Dewan ada kata bisa berati ‘mampu’, ’sanggup’).
Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologis. Kata mengukur yang pertama mengalami proses morfologis dari kata kukur mendapat imbuh-an menjadi mengukur. Sedangan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil (proses mor-fologis juga) dari pengimbuhan awalan me- pada kata ukur.

5.4  Hiponimi
Verhaar (1993) secara sistematik, hiponimi dapat didefinisikan sebagai ungkapan (ka-ta, frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna ungkapan lain. Hiponimi lebih banyak berhubungan dengan logika daripada linguistik. Berbeda dengan anto-nimi, sinonimi, dan homonimi yang memiliki hubungan dua arah, hiponimi hanya memiliki hubungan searah. Mawar, melati, anggrek berhiponim pada bunga tidak berhiponim terhadap kata mawar, melati, dan anggrek. Makna bunga meliputi seluruh jenis bunga.
 
5.5  Polisemi
Subroto (2011:74) menyatakan bahwa polisemi adalah sebuah kata (leksem) yang me-miliki beberapa makna (poly berarti banyak dan semem berarti arti) bergantung pada konteks kalimatnya. Jadi polisemi adalah satuan bahasa (terutama kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu yang tergantung pada konteks kalimat.
Menurut Pateda (2001: 214-215), polisemi terjadi karena beberapa hal yaitu:
a)      Faktor gramatikal, contoh kata pemukul dapat bermakna alat yang digunakan untuk me-mukul atau orang yang memukul.
b)      Faktor leksikal yang dapat bersumber dari:
1)      Sebuah kata yang mengalami perubahan pemakaian dalam bahasa yang mengakibat-kan munculnya makna baru.
2)      Digunakan pada lingkungan yag berbeda
3)      Karena metafora
c)      Faktor pengaruh bahasa asing
d)     Faktor pemakai bahasa yang ingin menghemat penggunaan kata
e)      Faktor bahasa itu sendiri yang terbuka unuk menerima perubahan.

5.6  Ambiguitas
Istilah ambiguitas (ambiguity) berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih da-ri satu arti (Kridalaksana, 1984: 11). Contoh, kalimat adik Ira yang nakal itu terjatuh. Kali-mat ini dapat bermakna ‘adik yang nakal’ atau ‘Ira yang nakal’.
Empson dalam Ullman menyebutkan ada tiga bentuk utama ambiguias, yaitu:
1)      Ambiguitas pada Tingkat Fonetik (bunyi)
Ambiguitas pada tingkat ini terjadi karena membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang di-tuturkan. Contoh, membeli kantin. Apakah yang dimaksud membeli kantin atau membelikan sesuatu untuk seseorang yang dipanggil dengan sebutan Tin.
2)      Ambiguitas pada Tingkat Gramatikal
Ambiguitas pada tingkat ini biasanya terjadi pada satuan kebahasaan yang lebih besar dari pada kata, yaitu frase, klausa atau kalimat. Jadi, ambiguitas pada tingkat ini dapat dilihat dari dua kemungkinan, yaitu:
a.       Ambiguitas yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Contoh kata pembersih dapat bermakna orang yang suka kebersihan atau alat untuk membersihkan.
b.      Ambiguitas pada frase yang mirip. Contoh, frase orang tua dalam bahasa Indonesia dapat bermakna orang tua kita yaitu ayah dan ibu atau orang yang sudah tua.
3)      Ambiguitas pada tingkat leksikal
Setiap kata dalam bahasa dapat memiliki makna lebih dari satu. Akibatnya, orang seringkali keliru menafsirkan makna suatu kata. Jadi, makna suatu kata dapat saja berbeda tergantung dari lingkungan pemakaiannya.
Menurut tata bahasa transformasi, amiguitas terjadi karena struktur luar yang sama berasal dari struktur dalam yang berbeda. Selain itu, jika dilihat dari sifat bahasa, ketidakje-lasan makna suatu konstruksi dapat disebabkan karena:
a)      Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (genetik)
b)      Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, namun kadang-kadang konteks itu tidak jelas pula bagi pendengar atau pembaca
c)      Batas makna itu relatif
d)     Kata-kata yang memiliki rujukan berupa konsep sehigga bersifat abstrak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar