RELASI MAKNA
RESUME
Disusun sebagai
Tugas Mata Kuliah Semantik
Semester IV,
Kelas A
Dosen Pengampu
Drs. Andiopenta, M.Hum. M. DIV
Oleh
Kelompok
V
Herti Gustina A1B112005
Masri Simbolon
A1B112017
Winda Sari
A1B112023
Meri Asparina
A1B112031
Shinta Maryani A1B112035
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2014
MATERI AJAR V
RELASI MAKNA
5.1 Sinonimi
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat
antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya. Satuan bahasa
tersebut dapat berupa kata, frasa, maupun kalimat dan relasi semantik.
Berdasarkan sifatnya, relasi makna meliputi: menyatakan kesa-maan makna
(sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (polisemi/poly-semy/multiple
meaning), kegandaan makna (ambigu/ketaksaan), atau kata yang berhomonimi
dengan kata lain, dan juga terdapat homograf dan homofon (homonim/homonym),
serta majas metafor (metaphor).
Secara harfiah, kata sinonimi berarti nama
lain untuk benda atau hal yang sama. Ver-haar secara semantik mendefinisikan sinonimi
sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frasa, a-tau kalimat) yang maknanya kurang
lebih sama dengan makna ungkapan lain (Verhaar, 1981).
A. Jenis Sinonimi menurut Colliman
1) Sinonimi yang salah satu anggotanya
memiliki makna lebih umum,
2) Sinonimi yang salah satu anggota memiliki
unsur makna yang lebih intensif,
3) Sinonimi yang salah satu anggotanya lebih
menonjolkan makna emotif,
4) Sinonimi yang salah satu anggotanya
bersifat mencela atau tidak membenarkan,
5) Sinonimi yang salah satu anggotanya
menjadi istilah bidang tertentu,
6) Sinonimi yang salah satu anggotanya lebih
banyak dipakai di dalam bahasa perca-kapan,
7) Sinonimi yang salah satu anggotanya
dipakai dalam bahasa kanak-kanak,
8) Sinonimi yang salah satu anggotanya biasa
dipakai di daerah tertentu saja.
B. Jenis Sinonimi menurut Verhaar
1) Sinonimi yang salah satu anggotanya berasal
dari bahasa daerah atau bahasa asing dan yang lainnya terdapat di dalam bahasa
umum,
2) Sinonimi yang pemakainnya bergantung
kepada langgam dan laras bahasa,
3) Sinonimi yang berbeda makna emotifnya,
tetapi makna kognitifnya sama,
4) Sinonimi yang pemakaianya terbatas pada
kata tertentu,
5) Sinonimi yang maknanya kadang-kadang
tumpang tindih.
C. Jenis Sinonimi menurut Verhaar
1) Sinonimi antar kalimat, contoh: Ali melihat Ahmad dan Ahmad melihat
Ali.
2) Sinonimi antar frasa, contoh : Rumah bagus itu dan rumah yang bagus
itu.
3) Sinonimi antar kata, contoh : nasib dengan takdir, meninggal dengan
mati.
4) Sinonimi antar morfem, contoh : itu bukuku. Itu buku saya.
Selain
itu, Chaer menambahkan satu lagi jenis sinonimi yaitu sinonimi antar kata
de-ngan frasa atau sebaliknya. Contoh meninggal dengan tutup usia, hamil dengan
duduk perut, dan sebagainya. Yang harus diingat dalam sinonimi adalah dua buah
kata yang bersinonimi tidak memiliki makna yang persis sama menurut Verhaar
yang sama adalah informasinya. Hal ini sesuai dengan prinsip semantik yang
mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun
perbedaannya hanya sedikit. Kata mati dan meninggal memiliki bentuk yang berbeda, jadi mati tidak
memilik makna yang sama persis dengan me-ninggal.
Selain
karena perbedaan bentuk, ada beberapa faktor yang menyebabkan kata-kata yang
bersinonimi tidak selalu dapat saling menggantikan yaitu:
1)
Faktor
waktu yang berbeda
2) Faktor tempat atau daerah yang berbeda
3) Faktor sosial
4) Faktor bidang kegiatan
5) Faktor nuansa makna
Ada beberapa
hal yang perlu diingat sehubungan dengan sinonimi yaitu:
1)
Tidak
semua kata bahasa Indonesia mempunyai sinonimi.
2)
Ada
kata-kata yang bersinonimi pada bentuk dasar, tetapi tidak pada bentuk jadian.
5.2
Antonim (Antonym)
Antonim
ialah leksem yang berpasangan secara antonimi (Kridalaksana,1984:13). Menurut
Verhaar antonym ialah ungkapan (biasanya kata, tetapi bisa frase atau
kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.
Menurut
Verhaar antonym berdasarkan sistemnya antara lain:
1) Antonim antar kalimat
2) Antonim antar frase
3) Antonim antar kata
4) Antonim antar Morfem
Antonim
sering disebut dengan istilah oposisi makna. Kridaklasana (1984:135) me-nyatakan
bahwa oposisi adalah hubungan antara dua unsur atau lebih dalam sistem yang me-nampakkan
perbedaan.
Beberapa
jenis oposisi seperti di bawah ini:
1)
Oposisi
Mutlak
Kata-kata
yang memiliki pertentangan (berlawanan) makna secara mutlak termasuk dalam
jenis ini. Misalnya, hidu dengan mati. Orang yang hidup sudah pasti tidak
mati sedangkan orang yang mati pasti tidak mati.
2)
Oposisi
Kutub
Ada
kata-kata yang pertentangan makna (sama dengan oposisi atau antonim) tidak
mutlak, tetapi berjenjang/bertingkat. Contoh kaya denga miskin. Kaya
dengan miskin tidak memiliki pertentangan yang mutlak. Orang yang kaya
kadangkala masih merasa miskin, se-baliknya orang yang miskin mungkin ada yang
merasa tidak miskin.
3)
Oposisi
Hubungan
Oposisi
hubungan ditujukan untuk kata-kata yang saling berhubungan. Kehadiran sua-tu
kata megakibatkan kehadiran kata yang lain, contoh, kata penjual ada karena adanya pem-beli.
Kata-kata tersebut timbul dan saling melengkapi. Kata-kata yang beroposisi
hubungan i-ni dapat berupa kata kerja dan kata benda.
4)
Oposisi
Hierarkial
Kata
hierarki menurut Kridalaksana (1984:65) adalah pengaturan secara beurutan
un-sur-unsur bahasa mulai dari yang terkecil (terendah) sampai yang terbesar
(tertinggi). Kata-kata yang beroposisi hierarkial adalah kata-kata yang berupa
nama satuan ukuran (berat, pan-jang dan isi), nama satuan hitungan,
penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagai-nya.
5)
Oposisi
Majemuk
Ada
kata-kata yang tidak hanya beroposisi dengan satu kata saja, melainkan dengan
dua buah kata atau lebih. Contoh, kata ramah dapat beroposisi dengan jdes,
galak, bengis, dan kejam. Yang harus diingat ialah tidak semua kata memiliki antonym
atau oposisi. Karena itu, tidak ada antonym dari sepeda, becak, bemo dan
bajaj.
5.3
Homonimi, Homofon, Homograf
5.3.1
Homonimi
Secara
semantik, Verhaar mendefenisikan homonomi sebagai ungkapan (kata, frase, atau
kalimat) yang bentuknya sama dengan suatu ungkapan lain, tetapi berbeda makna.
Ho-monimi menurut Verhaar terdiri atas empat jenis:
1.
Homonimi
antar kalimat, contoh istri kolonel yang nakal itu cantik (yang bermakna bah-wa
yang nakal adalah kolonelnya dengan istri kolonel yang nakal itu cantik (dengan
makna yang nakal adalah istri).
2.
Homonimi
antar frase, contoh frase cinta anak dapat megandung dua makna yang berbe-da,
yaitu cinta pada anak atau cinta pada anak atau cinta sang anak.
3.
Homonimi
antar kata, contoh: mengukur (dari kukur) dan mengukur (dari ukur).
4.
Homonimi
antar morfem, contoh: itu bukunya (buku dia). Nah, ini dia bukunya (buku
tertentu itu).
Kata-kata
yang berhomonimi dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu:
(a)
Homonim
yang Homograf adalah homonim yang sama ejaannya/tulisannya tetapi ber-beda
ucapannya.
(b)
Homonim
yang Homofon adalah homonim yang ucapannya sama, tetapi berbeda ejaan-nya.
(c)
Homonim
yang Homograf dan Homofon, yaitu homonim yang ejaan dan ucapannya sa-ma, tetapi
maknanya berbeda.
Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau
dialek yang berlainan. Contohnya kata bisa yang berarti racun berasal
dari bahasa Melayu, sedangkan bi-sa yang berarti mampu berarti bahasa Jawa.
(alah bisa karena biasa dari bahasa Jawa. Dalam Kamus Dewan ada kata bisa
berati ‘mampu’, ’sanggup’).
Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonimi itu terjadi sebagai hasil proses
morfologis. Kata mengukur yang pertama mengalami proses morfologis dari
kata kukur mendapat imbuh-an menjadi mengukur. Sedangan kata mengukur
yang kedua terjadi sebagai hasil (proses mor-fologis juga) dari pengimbuhan
awalan me- pada kata ukur.
5.4
Hiponimi
Verhaar
(1993) secara sistematik, hiponimi dapat didefinisikan sebagai ungkapan (ka-ta,
frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna ungkapan
lain. Hiponimi lebih banyak berhubungan dengan logika daripada linguistik. Berbeda
dengan anto-nimi, sinonimi, dan homonimi yang memiliki hubungan dua arah, hiponimi
hanya memiliki hubungan searah. Mawar, melati, anggrek berhiponim pada bunga
tidak berhiponim terhadap kata mawar, melati, dan anggrek. Makna bunga meliputi
seluruh jenis bunga.
5.5
Polisemi
Subroto
(2011:74) menyatakan bahwa polisemi adalah sebuah kata (leksem) yang me-miliki
beberapa makna (poly berarti banyak dan semem berarti arti)
bergantung pada konteks kalimatnya. Jadi polisemi adalah satuan bahasa
(terutama kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu yang tergantung
pada konteks kalimat.
Menurut
Pateda (2001: 214-215), polisemi terjadi karena beberapa hal yaitu:
a)
Faktor
gramatikal, contoh kata pemukul dapat bermakna alat yang digunakan untuk me-mukul
atau orang yang memukul.
b)
Faktor
leksikal yang dapat bersumber dari:
1)
Sebuah
kata yang mengalami perubahan pemakaian dalam bahasa yang mengakibat-kan
munculnya makna baru.
2)
Digunakan
pada lingkungan yag berbeda
3)
Karena
metafora
c)
Faktor
pengaruh bahasa asing
d)
Faktor
pemakai bahasa yang ingin menghemat penggunaan kata
e)
Faktor
bahasa itu sendiri yang terbuka unuk menerima perubahan.
5.6
Ambiguitas
Istilah
ambiguitas (ambiguity) berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan
lebih da-ri satu arti (Kridalaksana, 1984: 11). Contoh, kalimat adik Ira yang nakal itu terjatuh. Kali-mat
ini dapat bermakna ‘adik yang nakal’ atau ‘Ira yang nakal’.
Empson
dalam Ullman menyebutkan ada tiga bentuk utama ambiguias, yaitu:
1)
Ambiguitas
pada Tingkat Fonetik (bunyi)
Ambiguitas
pada tingkat ini terjadi karena membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang di-tuturkan.
Contoh, membeli kantin. Apakah yang
dimaksud membeli kantin atau membelikan sesuatu untuk seseorang yang
dipanggil dengan sebutan Tin.
2)
Ambiguitas
pada Tingkat Gramatikal
Ambiguitas
pada tingkat ini biasanya terjadi pada satuan kebahasaan yang lebih besar dari
pada kata, yaitu frase, klausa atau kalimat. Jadi, ambiguitas pada tingkat ini
dapat dilihat dari dua kemungkinan, yaitu:
a. Ambiguitas yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara
gramatikal. Contoh kata pembersih dapat bermakna orang yang suka kebersihan atau alat
untuk membersihkan.
b. Ambiguitas pada frase yang mirip. Contoh, frase orang tua dalam
bahasa Indonesia dapat bermakna orang tua kita yaitu ayah dan ibu atau orang yang
sudah tua.
3)
Ambiguitas
pada tingkat leksikal
Setiap kata dalam bahasa dapat
memiliki makna lebih dari satu. Akibatnya, orang seringkali keliru menafsirkan
makna suatu kata. Jadi, makna suatu kata dapat saja berbeda tergantung dari
lingkungan pemakaiannya.
Menurut tata bahasa transformasi,
amiguitas terjadi karena struktur luar yang sama berasal dari struktur dalam yang
berbeda. Selain itu, jika dilihat dari sifat bahasa, ketidakje-lasan makna
suatu konstruksi dapat disebabkan karena:
a)
Sifat
kata atau kalimat yang bersifat umum (genetik)
b)
Kata
akan jelas maknanya di dalam konteks, namun kadang-kadang konteks itu tidak
jelas pula bagi pendengar atau pembaca
c)
Batas
makna itu relatif
d)
Kata-kata
yang memiliki rujukan berupa konsep sehigga bersifat abstrak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar