ANALISIS PENDEKATAN PRAGMATIK
PADA NOVEL AYAT-AYAT CINTA
Disusun sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Kajian Prosa Fiksi
Dosen Pengampu Dra. Hj. Yusra Dewi, M.Pd.,
Oleh
Herti Gustina
NIM A1B112005
Semester IV, Kelas A

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI

SINOPSIS NOVEL AYAT-AYAT CINTA
Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy mengisahkan
ten-tang seorang tokoh bernama Fahri yang merupakan pemuda dari Indonesia yang
menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar, Mesir. Adapun syarat untuk bisa menjadi pelajar
di Universitas Al-Azhar adalah harus dapat menghapal Al-Quran. Fahri yang
merupakan pribadi yang sangat menjunjung
nilai-nilai keimanan dalam aga-ma Islam tentu saja hapal Al-Quran. Nilai-nilai
keimanan itulah yang dia praktik-kan dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun ia tinggal di sebuah rumah susun tanpa sanak keluarga dari
In-donesia, namun dia beruntung karena mengenal keluarga yang begitu baik pada-nya,
keluarga Maria. Maria adalah putri sulung Tuan Boutros Rafael Girgis. Bera-sal
dari keluarga Kristen Koptik yang sangat taat. Meskipun seorang gadis dari
penganut Kristen, Maria mampu menghafal Quran surat Maryam dan Al-Maidah.
Pertemuan Fahri dengan Maria berawal ketika Fahri pindah ke sebuah
ru-mah lantai satu yang letaknya di bawah rumah Maria. Sejak itu mereka saling
me-ngenal walau tidak begitu akrab. Suatu hari, ketika akan melakukan
perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Kaima
ujung Utara kota Cairo, Maria memanggil Fahri dan meminta Fahri untuk bisa
menitipkan disket yang ingin ia beli.
Di dalam metro menuju tempat tujuan, Fahri berkenalan dengan
seorang pemuda Mesir bernama Ashraf yang juga seorang muslim. Mereka bercerita
ba-nyak tentang Islam. Tak lama kemudian, 3 orang bule yang berkewarganegaraan
Amerika naik ke dalam metro tersebut. Salah satu dari bule tersebut adalah seo-rang
nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah, namun mereka tidak dipeduli-kan
karena dianggap kurang beradab oleh masyarakat Mesir. Ketiga bule tersebut
berpakaian yang tidak sesuai dengan budaya orang Mesir sehingga tidak ada satu-pun
di antara penumpang bis yang mau memberikan tempat duduk kepada mere-ka. Namun
salah satu penumpang bis, Aisha tergerak hatinya untuk memberikan tempat
duduknya kepada nenek yang tampaknya tidak sanggup lagi untuk berdiri. Di sinilah
awal terjadinya perdebatan. Orang-orang Mesir kemudian mengeluar-kan kata-kata
pedas kepada Aisha karena perbuatan Aisha yang memberikan tem-pat duduk kepada
orang Amerika dianggap sebagai suatu kesalahan besar. Fahri kemudian mencoba
meredam perdebatan yang seharusnya tidak perlu ada. Walau apa yang dilakukan
Fahri sempat menimbulkan perdebatan yang semakin panas, namun Fahri meluluhkan
hati mereka dengan mengatakan bahwa Islam itu me-nyayangi sesama.
Sejak kejadian tersebut, Alicia yang seorang gadis nonmuslim itu
menjadi ingin bertemu dengan Fahri dan menanyakan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan Islam. Merekapun melakukan pertemuan dengan didampingi oleh
Aisha yang seorang gadis Mesir. Karena keterbatasan waktu, Fahri meminta agar
Alicia menuliskan pertanyaannya dan akan dijawab oleh Fahri dengan tulisan
juga. Hal itu diterima oleh Alicia mengingat kesibukan Fahri yang tidak
memungkinkan un-tuk melakukan pertemuan yang memerlukan waktu yang lama. Fahri
menjawab pertanyaan-pertanyaan Alicia dengan tulisan, mencarikan
referensi-referensi yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alicia tersebut. tidak
tanggung-tanggung, Fahri pun juga meminta pertolongan Maria untuk
menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dan juga meminta gurunya untuk
mengoreksi jawaban-jawaban yang te-lah ia tuliskan.
Di Mesir, Fahri tinggal bersama 4 orang temannya yang juga berasal
dari Indonesia, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi, dan Misbah. Di sana Fahri juga
bertetangga dengan Bahadur, seorang yang kasar kepada siapa saja bahkan kepada
istrinya Madame Syaima dan putri bungsunya Noura. Bahadur dan Madame Syaima me-miliki
3 orang putri, yaitu Mona, Suzanna, dan Noura. Mona dan Suzanna berkulit hitam
sama seperti orangtuanya, namun lain halnya dengan Noura yang berkulit putih
dan berambut pirang. Hal ini mengakibatkan Bahadur mengira kalau istrinya telah
berselingkuh dan sangat membenci Noura.
Pada suatu malam, Bahadur menyeret Noura ke jalanan dengan punggung
yang penuh dengan luka cambukan. Melihat hal tersebut Fahri meminta Maria un-tuk
dapat membantu Noura dan membawanya ke rumah untuk menginap di rumah Maria.
Keesokkan harinya, Fahri membawa Noura ke rumah Nurul untuk dapat diamankan
dari keganasan Bahadur. Fahri dan Maria kemudian berusaha untuk mencari tahu
tentang Noura. Akhirnya terungkaplah bahwa Noura bukanlah anak dari Bahadur dan
Madame Syaima. Merekapun membantu untuk menemukan ke-dua orang tuanya hingga ia
bisa berkumpul dengan keluarganya yang sebenarnya. Bantuan Fahri ternyata
membuat Noura jatuh cinta kepadanya. Ia pun mengirim-kan sepucuk surat ungkapan
perasaannya kepada Fahri, namun surat itu tidak di-tanggapi oleh Fahri karena
mengira itu hanyalah ungkapan terima kasih. Fahri pun kemudian memfokuskan diri
kepada ujian yang akan ia hadapi.
Lain lagi dengan Aisha, pertemuan yang beberapa kali membuatnya
jatuh cinta dengan sikap dan sifat Fahri. Ia pun meminta pamannya Eqbal untuk
dapat menjodohkannya dengan Fahri. Fahri yang memang telah sedang bingung
dengan pernikahan yang telah ia targetkan merasa terjawab sudah dengan tawaran
Ustadz Usman untuk menjodohkannya dengan gadis soleha. Setelah melakukan shalat
is-tighoroh dan meminta restu ibunya, ia pun memantapkan niatnya untuk meminang
gadis yang sama sekali belum ia ketahui nama dan wajahnya itu. Namun betapa
terkejutnya ia ketika pertemuan keluarga yang datang adalah Eqbal dan keluarga-nya.
Segeralah ia mengetahui bahwa gadis itu adalah Aisha yang tak lain adalah
keponakan Eqbal. Eqbal dan Fahri telah banyak mengenal satu sama lain. Tentang Fahri
yang miskin dan dapat datang ke Mesir dengan menjual sawah warisan ka-keknya.
Melalui bantuan Syaikh Usman, Fahri pun bersedia untuk menikah dengan Aisha dan
Aisha pun siap menerima Fahri apa adanya.
Hari pernikahan telah ditentukan, Jumat setelah ashar, namun cobaan
da-tang pada Fahri. Ustadz Jamal dan istrinya datang menemui Fahri pada siang
hari-nya dengan maksud untuk meminangnya untuk Nurul karena Nurul sangat men-cintai
Fahri. Mendengar hal tersebut Fahri sangat terpukul karena dulunya setiap mendengar
nama Nurul hatinya selalu bergetar. Akantetapi cintanya sekarang te-lah menjadi
milik Aisha dan hanya hitungan jam saja mereka akan menikah. Fahri pun
menceritakan perihal pernikahan dengan Aisha yang sebentar lagi akan ter-laksanakan
kepada Ustadz Jamal dan istrinya. Ustadz Jamal pun sangat menya-yangkan dan
menyesal terhadap sikapnya yang menunda-nunda permintaan Nurul untuk meminang
Fahri. Pernikahan Fahri dan Aisha akan segera dilaksanakan dan tidak mungkin
untuk dibatalkan. Cobaan itu membuatnya sedih karena harus me-nyakiti hati
Nurul. Sebelum adzan ashar berkumandang, Sarah Ali Farougi, mem-beri tahu bahwa
semuanya telah siap. Fahri meminta izin pada Eqbal agar bisa melihat wajah
Aisha untuk menguatkan hatinya yang baru saja digoncang dengan kabar yang
menyakitkan hati. Tepat saat adzan ashar berkumandang mereka telah sampai di
masjid tempat akad akan dilaksanakan. Semua para tamu undangan te-lah sampai di
sana dan juga para masyarakat Mesir.
Setelah akad
nikah mereka tidak langsung tinggal bersama, 2 hari setelah akad nikah pesta
pun digelar. Barulah mereka pergi ke sebuah flat nomor 21 di tepi sungai nil.
Mereka berbulan madu di sana, dan di akhir minggu Aisha mem-beri kejutan kepada
Fahri bahwa flat itu miliknya. Dan mereka akan menempati flat itu bersama. Tak lama setelah itu Fahri mendapat kejutan dari Maria
dan You-sef. Maria dan adiknya itu datang ke rumah Fahri untuk memberikan
sebuah kado pernikahan. Namun Maria tampak lebih kurus dan murung. Memang saat
Fahri dan Aisha menikah, keluarga Boutros sedang pergi berlibur. Begitu
mendengar Fahri telah menjadi milik wanita lain dan tidak lagi tinggal di flat,
Maria sangat terpukul.
Kebahagiaan
Fahri dan Aisha ternyata tidak bertahan lama karena Fahri harus menjalani
hukuman di penjara atas tuduhan pemerkosaan terhadap Noura. Fahri dibawa ke
markas polisi Abbasca. Fahri diinterogasi dan dimaki dengan ka-ta-kata kotor.
Fahri dituduh memperkosa Noura hingga hamil hampir tiga bulan. Noura teramat
luka hatinya saat Fahri memutuskan untuk menikah dengan Aisha. Di persidangan,
Noura yang tengah hamil itu memberikan kesaksian bahwa janin yang
dikandungannya adalah anak Fahri. Pengacara Fahri tidak dapat berbuat apa-apa,
karena ia belum memiliki bukti yang kuat untuk membebaskan kliennya dari segala
tuduhan. Fahri pun harus mendekam di penjara selama beberapa minggu dan
melewati ramadhan pertamanya di sel bawah tanah. Satu-satunya
saksi kunci yang dapat meloloskan Fahri dari fitnah kejam Noura adalah Maria.
Marialah yang bersama Noura malam itu yaitu malam yang Noura sebut dalam
persidangan sebagai malam di mana Fahri memperkosanya. Maria sedang terkulai
lemah tak berdaya. Luka hati karena cinta yang bertepuk sebelah tangan
membuatnya jatuh sakit. Dan ia terus mengigau menyebut nama Fahri. Dokter
mengatakan sentuhan dan suara Fahri adalah rangsangan supaya Maria cepat sadar,
namun Fahri tidak mau melakukannya karena Maria bukanlah istrinya. Atas desakan
Aisha, Fahri pun menikahi Maria. Pernikahan itu berlangsung di rumah sakit.
Aisha berharap dengan mendengar suara dan merasakan sentuhan tangan Fahri,
Maria tersadar da-ri koma panjangnya dan dapat memberi kesaksian di pengadilan
tentang sebenar-nya yang terjadi.
Akhirnya
Maria dapat membuka matanya, Aisha menceritakan semuanya kepada Maria dan akhirnya
Maria bersedia untuk memberikan kesaksian di persi-dangan. Ketika di pengadilan
Maria membawa bukti bahwa malam itu Maria sam-pai pagi berada di kamarnya dan
sama sekali tidak meninggalkan kamarnya apala-gi masuk ke kamar Fahri, namun
naas karena terlalu emosi Maria yang saat itu masih dalam keadaan sakit
langsung jatuh pingsan setelah memberi kesaksian dan dilarikan ke rumah sakit.
Fahri pun memenangkan pengadilan itu karena Noura mengakui kesalahannya karena
telah memfitnah Fahri dan menyengsarakan orang yang ia cintai. Takbir
bergemuruh di ruang pengadilan itu dilantunkan oleh semua orang yang membela
dan simpati pada Fahri. Seketika Fahri sujud syukur kepada Allah Swt. Aisha
memeluk Fahri dengan tangis bahagia tiada terkira. Paman Eq-bal dan Bibi Sarah
tidak mampu membendung airmatanya. Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman juga sama. Satu
persatu orang Indonesia yang ada di dalam ruang-an itu memberi selamat dengan
wajah baru.
Noura
menyesal atas perbuatan yang dilakukannya. Dengan jiwa be-sar Fahri
memaafkan Noura. Terungkaplah bahwa ayah dari bayi dalam kandung-an Noura
adalah Bahadur. Fahri, Aisha, dan Maria mampu menjalani rumah tang-ga mereka
dengan baik. Aisha menganggap Maria sebagai adiknya, demikian pula Maria yang
menghormati Aisha selayaknya seorang kakak. Maria terus mengigau dalam komanya,
membaca ayat-ayat surat Maryam dan dilanjutkan dengan surat Thaha dan air
matanya terus mengalir. Setelah ayat terakhir surat Thaha yang ke-luar dari
mulut Maria tersadar dan menceritakan semuanya kepada Fahri. Maria mengatakan
bahwa ia mencium bau surga dan melihat ke dalam rombongan yang masuk ke
dalamnya. Ketika ia mau masuk beberapa kali malaikat penjaga surga itu tidak
mengizinkannya dengan alasan ia bukan termasuk golongan nabi Mu-hammad. Ia
menangis menyebut nama Allah dan akhirnya dari salah satu pintu surga keluarlah
Maryam. Ia mengatakan bahwa jika ingin masuk surga, ia harus termasuk dalam
rombongan nabi Muhammad Saw. Fahri mengerti bahwa Maria adalah wanita yang
muslim hatinya tapi Maria belum mengucapkan syahadat se-bagai tanda masuknya ia
ke dalam agama Islam. Akhirnya Fahri membantu Maria dengan cara mengambilkan
air untuk berwudlu. Dengan sekuat tenaga Fahri membopong Maria yang kurus
kering itu menuju kamar mandi. Aisha juga mem-bantu membawakan tiang infus.
Dengan tetap dibopong oleh Fahri, Maria diwu-dhui oleh Aisha. Setelah selesai,
Maria kembali dibaringkan di atas kasur seperti semula. Lalu dengan suara lirih
yang keluar dari relung jiwa ia mengucapkan sya-hadat. Ia tetap tersenyum.
Perlahan pandangan matanya redup. Tak lama kemudi-an kedua matanya yang bening
itu tertutup rapat. Fahri
memegang tangannya dan denyut nadinya telah berhenti. Tidak ada yang menduga
jika maut akhirnya me-renggut Maria. Maria menghadap Tuhan dengan menyungging senyum
di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya. Kata-kata yang tadi diucapkannya
de-ngan bibir bergetar itu kembali terngiang di telinga Fahri. Namun Maria
sangat beruntung karena sebelum ajal menjemputnya, ia telah menjadi seorang
mu’alaf dengan bantuan Fahri dan Aisha.
PENDEKATAN PRAGMATIK
1.
Konsep Pendekatan Pragmatik
Secara umum pendekatan
pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan
penerimaan pembaca terhadap karya sastra da-lam zaman ataupun sepanjang zaman.
Para ahli mendefinisikan pendekatan prag-matik sebagai berikut.
-
Menurut Teeuw, 1994
teori pendekatan pragmatik adalah salah satu bagian il-mu sastra yang merupakan
pragmatik kajian sastra yang menitik beratkan di-mensi pembaca sebagai
penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra.
-
Felix Vedika (Polandia)
berpendapat bahwa pendekatan pragmatik merupa-kan pendekatan yang tak ubahnya
artefak (benda mati) pembacanyalah yang menghidupkan sebagai proses konkritasi.
-
Menurut Abram
(1958:14-21) pendekatan pragmatik merupakan perhatian utama terhadap
peran pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu teori mo-dern yang
paling pesat perkembangannya yaitu teori resepsi.
Dengan indikator
pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragma-tik memberi
manfaat terhadap pembaca, pendekatan pragmatik secara keselu-ruhan
berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang
memungkin-kan pemahaman hakikat karya sastra tanpa batas.
Pendekatan pragmatik
memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca dalam kaitannya dengan
salah satu teori modern yang paling pesat per-kembangannya, yaitu teori
resepsi. Pendekatan pragmatik dipertentangkan de-ngan pendekatan ekspresif.
Subjek pragmatik dan subjek ekspresif sebagai pembaca dan pengarang berbagai
objek yang sama, yaitu karya sastra. Perbedaan-nya, pengarang merupakan subjek
pencipta, tetapi secara terus-menerus, fungsi-fungsinya dihilangkan, bahkan
pada gilirannya pengarang dimatikan. Sebaliknya, pembaca yang sama sekali tidak
tahu-menahu tentang proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan dianggap
sebagai penulis.
Pendekatan pragmatik
dengan demikian memberikan perhatian pada per-geseran dan fungsi-fungsi baru
pembaca tersebut. Secara historis (Abrams, 1976:-16) pendekatan pragmatik telah
ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica (Hoatius). Meskipun
demikian, secara teoritis dimulai dengan lahirnya struktural-isme dinamik.
Stagnasi srukturalisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis,
yaitu pembaca (Mukarovsky).
Pada tahap tertentu
pendekatan pragmatik memiliki hubungan yang cukup dekat dengan sosiologi, yaitu
dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca. Pendekatan pragmatik memliki
manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan
penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan
indikator pembaca dan karya satra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan
manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi
untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memung-kinkan pemahaman hakikat
karya sastra tanpa batas.
Pendekatan pragmatik
mempertimbangkan implikasi pembaca melalui ber-bagai kompetensinya. Dengan
mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang
dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis, di antaranya berbagai tanggapan
masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca
eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerang-ka sinkronis maupun diakronis.
Teori-teori postrukturalisme sebagian besar ber-tumpu pada kompetensi pembaca,
sebab samata-mata pembacalah yang berhasil untuk mengevokasi kekayaan khazanah
kultural bangsa.
2.
Prosedur Pendekatan Pragmatik
Prosedur dalam menganalisis karya sastra dengan menggunakan
pendekat-an pragmatik yaitu sebagai berikut.
(1)
Menandai
adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang mencirikan ada-nya perbedaan
dengan teks lainnya.
(2)
Memerikan
dan meneliti unsur-unsur dasar penyebab tanggapan terhadap kar-ya sastra.
ANALISIS NOVEL AYAT-AYAT CINTA
Pada novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy ini
merupa-kan novel bergenre religius. Pada novel ini mengaitkan kehidupan manusia
de-ngan aspek-aspek keagamaan. Novel ini menceritakan permasalahan-permasalah-an
yang ada pada kehidupan manusia, mulai dari gaya hidup bertetangga, pola
tingkah pemikiran masyarakat yang beraneka ragam, cinta yang bertepuk sebelah
tangan, poligami, pemfitnahan, sampai pada kesetiaan dengan latar sosial-budaya
Timur Tengah. Semua dikemas dengan uraian-uraian yang bersifat islami dengan
diperkuat oleh dalil-dalil dan hadits-hadits.
Karya sastra adalah salah satu dari media dalam berdakwah. Dengan
karya sastra segala permasalahan kehidupan dapat tergambarkan dengan solusi
yang da-pat menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.
Inilah yang dilakukan oleh seorang novelis yang juga seorang sarjana Al-Azhar
Univer-sity Cairo. Dengan media novel ia mampu membangun gambaran-gambaran per-masalahan
masyarakat dengan solusi yang berdasarkan pengetahuan agama. Da-lam novel ini,
ia menceritakan permasalahan kehidupan dengan latar ala Arab na-mun diceritakan
dengan gaya bahasa Indonesia. Mengutip pernyataan dari Maja-lah Muslimah edisi
Januari 2006 “Penulis novel ini berhasil menggambarkan latar (setting)
sosial-budaya Timur Tengah dengan sangat hidup tanpa harus memakai
istilah-istilah Arab. Bahasanya yang mengalir, karakterisasi tokoh-tokohnya
yang begitu kuat, dan gambaran latarnya yang begitu hidup, membuat kisah dalam
no-vel ini terasa benar-benar terjadi. Ini contoh novel karya penulis muda yang
sa-ngat bagus!” Dalam hal ini tokoh-tokoh dibangun dengan karakteristik yang
kuat dan sesuai dengan gambaran kehidupan.
Ayat-Ayat Cinta merupakan judul yang mewakili isi dari novel ini.
Di da-lam Al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang
cinta, baik cinta antara manusia dengan Tuhannya, cinta antara manusia dengan
manusia lainnya, tak terkecuali cinta antara manusia yang berlawanan jenis.
Kata Ayat yang dituliskan secara reduplikasi dalam ilmu morfologi
menyatakan jamak, arti-nya dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang
menjelaskan tentang cinta dan permasalahan serta solusi-solusinya. Kenapa
judulnya Ayat-Ayat Cinta? Karena di dalam Al-Qur’an, Tuhan telah mengajarkan
bagaimana sebuah cinta itu diba-ngun dengan tanpa merusak kesucian dari sebuah
arti cinta tersebut. Cinta itu a-kan terasa sangat indah, jika dilakukan sesuai
dengan pedoman dan petunjuk yang diberikan oleh Allah Swt. Manusia akan
mengecap indahnya cinta dari sesama manusia, jika ia juga telah mencintai Allah
dengan melakukan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Dan Allah
akan menjanjikan syurga yang tak ternilai keindahannya bagi mereka yang
menjalankan kehidupan sesuai dengan syariatNya.
Fahri, seorang tokoh yang dibangun oleh penulis sebagai tokoh utama
da-lam novel ini. Seorang santri salaf metropolis dan musafir yang haus ilmu.
Memi-liki karakter tokoh yang begitu kuat dengan keislamannya dan kokoh
pendirian-nya serta seseorang yang pekerja keras. Kesabaran dan gaya hidup yang
patut di-contoh dari seorang Fahri. Tokoh kedua dalam novel ini adalah Aisha,
seorang ga-dis yang berdarah Jerman, Turki, dan Palestina, namun lahir dan
dibesarkan di Jerman. Sifat lembut dan penyayang tergambar dari kecantikan nama
Aisha. Seo-rang tokoh yang begitu setia dan juga sabar menerima segala cobaan
berat yang menimpanya dan suaminya. Tokoh ketiga adalah seorang penganut
Kristen Kop-tik yang sangat taat kepada agamanya, namun telah menghafal
beberapa surat Al-Qur’an terutama surat Maryam yang menjelaskan tentang riwayat
Maryam mela-hirkan Nabi Isa As., tentang bagaimana cara Nabi Ibrahim memberikan
nasihat kepada ayahnya, tentang Allah Swt yang meninggikan Nabi Idris ke tempat
yang tinggi, dan tentang Allah Swt. yang tidak beranak. Nama Maria yang
bernuansa-kan wanita Kristen, namun terasa begitu Islami dengan karakter yang
dibangun o-leh penulis. Dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang penamaannya
disesuaikan dengan karakter masing-masing tokoh menjadikan cerita ini menjadi
begitu hidup.
Dalam novel ini juga sangat kental dengan penggambaran
sosial-budaya seperti pada kutipan (halaman 51, paragraf 6) “Salah satu keindahan hidup di Me-sir adalah
penduduknya yang lembut hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan
kita seumpama raja. Mereka terkadang keras kepala, tapi jika su-dah jinak dan
luluh mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka ka-lau marah
meladak-ledak tapi kalau sudah reda benar-benar reda kemarahannya, hilang tanpa
bekas. Tak ada dendam di belakang yang diingat sampai tujuh ketu-runan seperti
orang Jawa. Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja.” O-rang Amerika
digambarkan dengan cara berpakaiannya yang ala Barat dan terbu-ka, sedangkan
orang Mesir digambarkan dengan cara berpakaian yang ala Arab serba tertutup.
Dalam penceritaannya juga disinggung tentang budaya Indonesia yang tidak tepat
waktu atau ngaret, namun dibuktikan oleh tokoh Fahri bahwa ti-dak semua
orang Indonesia begitu dan tidak semua orang luar Indonesia disiplin dengan
waktu. Hal yang menjadi perhatian dalam penggambaran sosial-budaya pada novel
ini ialah sistem hukuman di Mesir bagi seseorang yang melakukan suatu
kesalahan, maka akan diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi bahkan yang
belum terbukti kesalahannya sekalipun. Mereka yang tertuduh bersalah akan
disiksa tanpa ampun hingga kebenarannya terungkap. Apalagi bagi seseorang yang
berkewarganegaraan yang hukum negaranya lemah, maka hampir tidak ada peluang
untuk bisa dibebaskan dari hukuman, bahkan mereka dipaksa untuk mengaku
kesalahan yang sebenarnya tidak ia lakukan.
Sosok Aisha, Maria, Nurul, Noura, dan Alicia merupakan penggambaran
dari karakter-karakter perempuan yang ada dalam kehidupan nyata. Tentang ba-gaimana
wanita dalam Islam juga sangat diutamakan dalam novel ini dengan ada-nya
pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh para tokoh terutama Alicia yang
dijawab dengan baik oleh Fahri dengan berlandaskan dalil-dalil yang ada dan
hadits serta pendapat para ulama-ulama terkemuka.
Kenapa dikatakan novel pembangun jiwa? Karena dalam novel ini terca-kup
bagaimana Islam mengajarkan manusia dalam menghadapi masalah-masalah yang
merupakan ujian yang diberikan oleh Allah Swt. Bagaimana seorang Aisha dengan
ikhlas dipoligami demi suatu kebenaran. Menjaga kesuciannya hingga cin-ta yang
hakiki itu datang padanya. Bagaimana seorang Fahri yang dengan begitu sabar
menghadapi ujian berat yang diberikan oleh Allah Swt kepadanya. Begitu kokohnya
ia menggenggam kebenaran demi nama Tuhannya. Dan bagaimana seo-rang Maria yang
disentuh hatinya hingga bisa masuk Islam sebelum ajal menjem-put. Semua
tergambar dengan baik di dalam Ayat-Ayat Cinta.
mau tnya donk....
BalasHapusanda menggunakan buku apa untuk mendapatkan informasi? tentang pendekatan pragmatik